
Tampilkan postingan dengan label Muslimah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Muslimah. Tampilkan semua postingan
Selasa, 11 September 2012
Meneladani Sosok Muslimah Pilihan

HARUSKAH PEMBANTU WANITA BERHIJAB DI HADAPAN MAJIKAN LAKI-LAKINYA
Pertanyaan
:
Syaikh
Abdul Aziz bin Baz ditanya : Haruskah wanita yang bekerja sebagai pembantu di
rumah berhijab dari majikan laki-lakinya ?
Jawaban
:
Benar, ia diwajibkan
berhijab dari majikannya dan tidak boleh menampakkan perhiasan di hadapannya,
dan diharamkan bagi mereka berduaan berdasarkan keumuman dalil yang melarang
'khalwat'. Melepas hijab di hadapan majikannya bisa menimbulkan fitnah,
demikian pula berduaan dengannya, merupakan sebab-sebab setan menjadikan fitnah
tampak seperti indah. Hanya kepada Allah kita minta pertolongan. [Fatawa
Mar'ah.
Adakah mimpi basah bagi seorang wanita
Pertanyaan :
Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-Utsaimin ditanya: Apakah seorang wanita mengalami mimpi (mimpi basah)? Jika
ia mengalami mimpi itu, apakah yang ia lakukan? Dan jika seorang wanita
mengalami mimpi itu kemudian ia tidak mandi, apakah yang harus ia lakukan?
Jawaban :
Terkadang wanita itu mengalami
mimpi (mimpi basah), sebab kaum wanita adalah saudara kaum pria, jika kaum pria
mengalami mimpi maka demikian pula halnya dengan wanita. Jika seorang wanita
mengalami mimpi dan tidak keluar cairan syahwat pada saat bangun dari tidurnya,
maka tidak ada kewajiban bagi wanita itu untuk mandi. Akan tetapi jika mimpi
itu menyebabkan adanya air dari kemaluannya, maka wanita itu diwajibkan untuk
mandi.
Hal ini berdasarkan sebuah hadits,
Berdosakah Wanita Mimpi Bersetubuh
Pertanyaan
Al-Lajnah
Ad-Daimah Lil ifta' ditanya : Berdosakah apabila seorang wanita bermimpi di
setubuhi oleh seseorang pria. Dan apa yang wajib dikerjakan setelahnya?
Jawaban
Jika
seorang pria bermimpi menyetubuhi seorang wanita, atau seorang wanita bermimpi
disetubuhi oleh seorang pria. Maka tak ada dosa bagi keduanya, karena sesuatu
ketetapan hukum tidak berlaku dalam keadaan tidur, juga karena tidak mungkin
bagi seseorang untuk menghindarkan dirinya dari mimpi tersebut. Allah tidak
membebani seseorang kecuali dengan sesuatu yang mampu diembannya. Selai itu,
terdapat hadits shahih dari nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau
bersabda,
عَنْ
عَائِشَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ رُفِعَ
الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ عَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنْ الصَّغِيرِ
حَتَّى يَكْبُرَ وَعَنْ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ أَوْ يُفِيقَ
Dari Aisyah dari Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam, beliau bersabda: Telah diangkat pena (ketetapan hukum tidak
berlaku) pada tiga golongan, yaitu pada orang yang sedang tidur hingga ia
terbangun, pada anak kecil hingga ia dewasa (mengalami mimpi yang menyebabkan
ia mandi), dan pada orang gila hingga ia sadar." (Diriwayatkan oleh Ahmad,
Abu daud, An-Nasaa'i dan Al-hakim)
Al-Hakim
berkata : Apabila ketika bermimpi itu mengeluarkan mani, maka ia wajib mandi. [Fatawa
Al-Lajnah Ad-Da'imah, 5/311]
Selasa, 06 Maret 2012
Keluar Darah Haid Setelah Berusia Lima Puluh atau Tujuh Puluh Tahun
Oleh : Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh
- Pertanyaan Pertama.
Bagaimanakah hukumnya jika haidh masih datang setelah umur lima puluh tahun ?
Jawaban :
Adapun ucapan 'Aisyah Radhiyallahu a'nha : "Jika seorang wanita telah mencapai umur lima puluh tahun,
maka ia telah keluar dari batas waktu haidh". Ucapannya ini disebutkan oleh Ahmad, ucapan Aisyah ini berita
yang menggambarkan tentang kondisi wanita pada umumnya. Hal ini ia ucapkan untuk melakukan sikap
mawas diri terhadap pokok-pokok syariat, karena pada dasarnya darah yang keluar itu tetap dianggap haidh
kecuali ada dalil yang menyatakan bahwa darah itu bukan darah haidh.
[Fatawa wa Rasa'il Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 2/96]
Oleh : Syaikh Abdurrahman As-Sa'di
- Pertanyaan Kedua :
Jika seorang wanita telah mencapai umur tujuh puluh tahun kemudian keluar darah seperti darah haidh, apakah ia harus berhenti shalat ?
Jawaban :
Wanita yang telah mencapai umur tujuh puluh tahun kemudian keluar darah seperti darah haidh dan tidak bisa
dibantah bahwa darah itu adalah darah haid, maka tidak diragukan lagi bahwa ia harus meninggalkan shalatnya, karena pendapat yang benar adalah bahwa keluarnya darah haidh itu tidak ada batasan umur termuda juga tidak ada batasan umur tertuanya, dan hukum darah tersebut adalah hukum darah haidh.
[Al-Majmu'ah Al-Kamilah Li Mu'allafat Asy-Syaikh Ibnu As-Sa'di, 7/98]
[Disalin dari Kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang
Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wan, Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin, Terbitan Darul Haq]
Sifat Mandi Junub Dan Perbedaannya Dengan Mandi Haidh
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta'
Pertanyaan:
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta' ditanya : Apakah ada perbedaan antara mandi junub seorang pria dengan mandi junub seorang wanita ? Dan apakah seorang wanita harus melepas ikatan rambutnya atau cukup baginya menuangkan air di atas kepalanya tiga kali tuang berdasarkan suatu hadits ? Apa bedanya antara mandi junub dengan mandi haid ?
Jawaban:
Tidak ada perbedaan bagi pria dan wanita dalam hal sifat mandi junub, dan masing-masing tidak perlu melepaskan ikatan rambutnya akan tetapi cukup baginya untuk menuangkan air di atas kepalanya sebanyak tiga tuang kemudian setelah itu menyiramkan air ke seluruh tubuhnya berdasarkan hadits Ummu Salamah Radhiyallahu 'anha, bahwa ia berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Sesungguhnya saya seorang wanita yang mengikat gulungan rambut kepala saya, apakah saya harus melepaskan ikatan rambut itu untuk mandi junub ?".
Rasulullah menjawab :
Minggu, 29 Januari 2012
Hukum Operasi Selaput Dara
Selaput dara adalah selaput tipis yang ada di dalam kemaluan wanita, yang oleh masyarakat sering disebut keperawanan, karena jika selaput dara tersebut belum pecah atau sobek menunjukkan bahwa wanita tersebut masih perawan, dan belum pernah melakukan hubungan seksual dengan seorang laki-laki, walaupun tanda ini tidaklah mutlak, karena ada sebagian wanita yang tidak pecah selaput daranya saat melakukan hubungan seksual.
Yang dimaksud operasi selaput dara dalam pembahasan ini adalah operasi untuk memperbaiki selaput dara yang rusak atau mengembalikannya kepada tempat semula. Dan ini termasuk masalah kontemporer yang belum ditemui oleh para ulama pada masa lalu. Untuk memudahkan pemahaman, maka pembahasaan ini, kita bagi menjadi beberapa bagian, sesuai dengan penyebab hilangnya selaput dara
Pertama : Hilang selaput dara karena sesuatu yang tidak dikatagorikan maksiat .
Seorang gadis mungkin saja kehilangan selaput daranya ( keperawanannya ) akibat kecelakaan, jatuh, tabrakan, membawa beban terlalu berat, atau karena terlalu banyak bergerak dan lain-lainnya . Begitu juga jika ia masih kecil dan diperkosa seseorang ketika dalam keadaan tidur atau karena ditipu.
Dalam keadaan seperti ini, jika si gadis yang tidak berdosa tadi melakukan operasi untuk mengembalikan selaput dara yang hilang atau rusak, maka, menurut sebagian ulama hal tersebut dibolehkan, atau disunnahkan , bahkan kadang-kadang hukumnya menjadi wajib ( DR. Muh. Nu’aim Yasin, , Fikih Kedokteran, hal 207 ) , alasan-alasannya sebagai berikut :
1. Gadis tersebut tidak berbuat maksiat, kejadian yang menimpanya merupakan sebuah musibah. Ini sebagaimana orang yang patah tulang atau luka bakar atau terkelupas kulitnya akibat sebuah kecelakaan. Jika orang-orang yang kena musibah ini dibolehkan untuk melakukan operasi dengan tujuan memperbaiki organ tubuhnya yang rusak, maka orang yang kehilangan atau tersobek selaput daranyapun dibolehkan untuk melakukan operasi demi mengembalikan salah satu organ tubuh yang hilang tadi.
Yang dimaksud operasi selaput dara dalam pembahasan ini adalah operasi untuk memperbaiki selaput dara yang rusak atau mengembalikannya kepada tempat semula. Dan ini termasuk masalah kontemporer yang belum ditemui oleh para ulama pada masa lalu. Untuk memudahkan pemahaman, maka pembahasaan ini, kita bagi menjadi beberapa bagian, sesuai dengan penyebab hilangnya selaput dara
Pertama : Hilang selaput dara karena sesuatu yang tidak dikatagorikan maksiat .
Seorang gadis mungkin saja kehilangan selaput daranya ( keperawanannya ) akibat kecelakaan, jatuh, tabrakan, membawa beban terlalu berat, atau karena terlalu banyak bergerak dan lain-lainnya . Begitu juga jika ia masih kecil dan diperkosa seseorang ketika dalam keadaan tidur atau karena ditipu.
Dalam keadaan seperti ini, jika si gadis yang tidak berdosa tadi melakukan operasi untuk mengembalikan selaput dara yang hilang atau rusak, maka, menurut sebagian ulama hal tersebut dibolehkan, atau disunnahkan , bahkan kadang-kadang hukumnya menjadi wajib ( DR. Muh. Nu’aim Yasin, , Fikih Kedokteran, hal 207 ) , alasan-alasannya sebagai berikut :
1. Gadis tersebut tidak berbuat maksiat, kejadian yang menimpanya merupakan sebuah musibah. Ini sebagaimana orang yang patah tulang atau luka bakar atau terkelupas kulitnya akibat sebuah kecelakaan. Jika orang-orang yang kena musibah ini dibolehkan untuk melakukan operasi dengan tujuan memperbaiki organ tubuhnya yang rusak, maka orang yang kehilangan atau tersobek selaput daranyapun dibolehkan untuk melakukan operasi demi mengembalikan salah satu organ tubuh yang hilang tadi.
2. Menyelamatkan gadis ini dari tuduhan dan fitnah yang ditujukan kepadanya akibat tidak mempunyai selaput dara lagi, sekaligus menutupi aib yang menimpa dirinya. Hal ini sesuai dengan ruh Islam yang memerintahkan untuk menutupi aib sauadaranya, sebagaimana yang tersebut dalam hadist : “ Barang siapa yang menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akherat “ ( HR Bukhari dan Muslim )
Namun, walaupun begitu, ada sebagian ulama yang tidak membolehkan gadis tersebut untuk melakukan operasi selaput dara, karena mungkin saja orang lain tahu bahwa gadis tersebut sudah rusak atau hilang selaput daranya dari pihak-pihak tertentu, sehingga tujuan untuk menutup aib menjadi tidak terwujud. Selain itu, aurat si gadis tadi akan dilihat oleh para dokter padahal operasi ini bukanlah hal yang darurat. Sedangkan untuk menghindari fitnah dan tuduhan bisa saja dengan menjelaskan kepada masyarakat atau calon suami, bahwa selaput dara yang hilang tadi akibat kecelakaan, bukan akibat perbuatan zina. ( DR, Muh. Muhtar Syenkity , Ahkam Jirahiyah Tibbiyah, hal 432 )
Dari dua pendapat di atas, maka siapa saja yang selaput daranya robek atau hilang karena kecelakaan , atau karena hal-hal lain yang tidak termasuk maksiat, sebaiknya tidak usah melakukan operasi selaput dara, karena hal tersebut bukanlah hal yang darurat. Jika ingin menikah bisa dengan menjelaskan kepada calon suami keadaan yang sebenarnya. Akan tetapi jika memang keadaannya sangat mendesak, dan membutuhkan operasi selaput dara serta hal itu benar-benar akan membawa maslahat yang besar, maka hal itu dibolehkan juga.
Kedua : Hilang selaput dara karena maksiat seperti berzina.
Orang yang berzina bisa dibagi menjadi dua keadaan :
1. Keadaan pertama : dia telah berzina , tapi masyarakat belum mengetahuinya.
Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat di dalamnya, sebagian membolehkannya untuk melakukan operasi selaput dara, dengan dalih bahwa hal itu untuk menutup aib dan maksiat yang pernah dilakukannya, apalagi dia bersungguh –sungguh ingin bertaubat, dan ajaran Islam menganjurkan untuk menutup aib saudaranya, sebagaimana dalam hadist yang disebut di atas. Namun, sebagian ulama yang lain tidak membolehkannya, karena hal itu akan mendorongnya dan mendorong orang lain untuk terus-menerus berbuat zina, karena dengan mudah dia akan melakukan operasi selaput dara setelah melakukan zina dan ini akan membawa mafsadah yang besar dalam masyarakat.
Namun untuk mengambil jalan tengah, hendaknya dilihat keadaan orang yang ingin melakukan operasi selaput dara, jika memang benar-benar orang tersebut ingin bertaubat nasuha dan operasi tersebut akan membawa maslahat yang besar , maka tidaklah mengapa, tapi jika tidak, sebaiknya ditinggalkan.
1. Keadaan kedua : dia telah melakukan zina, tapi masyarakat sudah mengetahuinya.
Dalam keadaan seperti ini, para ulama sepakat untuk mengharamkan operasi selaput dara, karena madharatnya jauh lebih besar dan tidak ada maslahat yang di dapat dari operasi tersebut sama sekali.
Ketiga : Hilang selaput dara karena pernikahan .
Hilangnya selaput dara akibat hubungan seksual dalam pernikahan. Ini adalah sesuatu yang sangat wajar dan normal, bahkan hampir semua perempuan yang pernah menikah dan melakukan hubungan seksual dalam pernikahan tersebut pasti mengalaminya. Dengan demikian, melakukan operasi selaput dara untuk mengembalikan selaput daranya yang telah sobek dan hilang adalah perbuatan sia-sia dan menghambur-hamburkan uang dan waktu. Selain itu, mau tidak mau dia harus membuka auratnya yang paling vital dan tentunya akan dilihat oleh para dokter yang akan menangani operasi. Oleh karenanya, melakukan operasi selaput dara dalam keadaan seperti ini adalah perbuatan yang tercela dan dilarang dalam Islam. Para dokter yang ikut menyetujui dan melakukan operasi juga ikut berdosa. Para ulama sepakat dalam hal ini. Wallahu A’lam ( Dikitip dari tulisan DR. Ahmad Zain An-Najah, M.A)
ISTIHADHAH DAN HUKUM-HUKUMNYA
Istihadhah ialah keluamya darah terus-menerus pada seorang wanita tanpa henti sama sekali atau berhenti sebentar seperti sehari atau dua hari dalam sebulan.
Dalil kondisi pertama, yakni keluamya darah terus-menerus tanpa henti sama sekali, hadits riwayat Al- Bukhari dari Aisyah Radhiyallahu 'anha bahwa Fatimah binti Abu Hubaisy berkata kepada Rasulullah : "Ya Rasulullah, sungguh aku ini tak pemah suci" Dalam riwayat lain, "Aku mengalami istihadhah maka tak pemah suci."
Dalil kondisi kedua, yakni darah tidak berhenti kecuali sebentar, hadits dari Hamnah binti Jahsy ketika datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata: "Ya Rasulullah, sungguh aku sedang mengalami Istihadhah yang deras sekali." (Hadits riwayat Ahmad, Abu Dawud dan At-Tirmidi dengan menyatakan shahih. Disebutkan pula bahwa hadits ini menurut Imam Ahmad shahih, sedang menurut Al-Bukhari hasan.
Kondisi wanita mustahadhah
Ada tiga kondisi bagi wanita mustahadhah:
1. Sebelum mengalami istihadhah, ia mempunyai haid yang jelas waktunya. Dalam kondisi ini, hendaklah ia berpedoman kepada jadwal haidnya yang telah diketahui sebelumnya. Maka pada masa itu dihitung sebagai haid dan berlaku baginya hukum-hukum haid.
Adapun selain masa tersebut merupakan istihadhah yang berlaku baginya hukum-hukum istihadhah.
Misalnya, seorang wanita biasanya haid selama enam hari pada setiap awal bulan, tiba-tiba mengalami istihadhah dan darahnya keluar terus-menerus. Maka masa haidnya dihitung enam hari pada setiap awal bulan, sedang selainnya merupakan istihadhah. Berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha bahwa Fatimah binti Abi Hubaisy bertanya kepada Nabi : "Ya Rasulullah, sungguh aku mengalami istihadhah maka tidak pernah suci, apakah aku meninggalkan shalat? Nabi menjawab: “Tidak, itu adalah darah penyakit. Namun tinggalkan shalat sebanyak hari yang biasanya kamu haid sebelum itu, kemudian mandilah dan lakukan shalat. " (Hadits riwayat Al-Bukhari).
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim bahwa Nabi bersabda kepada Ummu Habibah binti Jahsy: “Diamlah selama masa haid yang biasa menghalangimu, lalu mandilah dan lakukan shalat.”
Dengan demikian,wanita mustahadhah yang haidnya sudah jelas waktunya menunggu selama masa haidnya itu. Setelah itu mandi dan shalat, biar pun darah pada saat itu masih keluar.
2. Tidak mempunyai haid yang jelas waktunya sebelum mengalami istihadhah, karena istihadhah tersebut terus-menerus terjadi padanya mulai dari saat pertama kali ia mendapati darah. Dalam kondisi ini, hendaklah ia melakukan tamyiz (pembedaan); seperti jika darahnya berwarna hitam, atau kental,. atau berbau maka yang terjadi adalah haid dan berlaku baginya hukum-hukum haid. Dan jika tidak demikian, yang terjadi adalah istihadhah dan berlaku baginya hukum-hukum istihadhah.
Misalnya, seorang wanita pada saat pertama kali mendapati darah dan darah itu keluar terus menerus; akan tetapi ia dapati selama sepuluh hari dalam sebulan darahnya berwama hitam kemudian setelah itu berwama merah, atau ia dapati selama sepuluh hari dalam sebulan darahnya kental kemudian setelah itu encer, atau ia dapati selama sepuluh hari dalam sebulan berbau darah haid tetapi setelah itu tidak berbau maka haidnya yaitu darah yang berwama hitam (pada kasuspertama), darah kental (pada kasus kedua) dan darah yang berbau (padakasus ketiga). Sedangkan selain hal tersebut, dianggap sebagai darah istihadhah. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada Fatimah binti Abu Hubaisy: “Darah haid yaitu apabila berwarna hitam yang dapat diketahui. Jika demikian maka tinggalkan shalat. Tetapi jika selainnya maka berwudhulah dan lakukan shalat karena itu darah penyakit. (Hadits riwayat Abu Dawud, An-Nasa'I dan dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim).
Hadits ini, meskipun perlu ditinjau lagi dari segi sanad dan matannya, telah diamalkan oleh para ulama' rahimahumullah. Dan hal itu lebih utama daripad dikembalikan kepada kebiasaan kaum wanita pada umumnya.
3. Tidak mempunyai haid yangjelas waktunya dan tidak bisa dibedakan secara tepat darahnya. Seperti: jika istihadhah yang dialaminya terjadi terus-menerus mulai dari saat pertama kali melihat darah sementara darahnya menurut satu sifat saja atau berubah-ubah dan tidak mungkin dianggap sebagai darah haid. Dalam kondisi ini, hendaklah ia mengambil kebiasaan kaum wanita pada umumnya.
Maka masa haidnya adalah enam atau tujuh hari pada setiap bulan dihitung mulai dari saat pertama kali mendapati darah Sedang selebihnya merupakan istihadhah.
Misalnya, seorang wanita saat pertama kali melihat darah pada tanggal 5 dan darah itu keluar terus-menerus tanpa dapat dibedakan secara tepat mana yang darah haid, baik melalui wama ataupun dengan cara lain. Maka haidnya pada setiap bulan dihitung selama enam atau tujuh hari dimulai dari tanggal tersebut.
Hal ini berdasarkan hadits Hamnah binti Jahsy Radhiyallahu 'anha bahwa ia berkata kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam : "Ya Rasulullah, sungguh aku sedang mengalami istihadah yang deras sekali. Lalu bagaimana pendapatmu tentangnya karena ia telah menghalangiku shalat dan berpuasa? Beliau bersabda: "Aku beritahukan kepadamu (untuk menggunakan) kapas dengan melekatkannya pada farji, karena hal itu dapat menyerap darah". Hamnah berkata: "Darahnya lebih banyak dari itu". Nabipun bersabda: "Ini hanyalah salah satu usikan syetan. Maka hitunglah haidmu 6 atau 7 hari menurut ilmu Allah Ta'ala lalu mandilah sampai kamu merasa telah bersih dan suci, kemudian shalatlah selama 24 atau 3 hari, dan puasalah." (Hadits riwayat Ahmad,Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Menurut Ahmad dan At-Tirmidzi hadits ini shahih, sedang menurut Al-Bukhari hasan).
Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam : 6 atau 7 hari tersebut bukan untuk memberikan pilihan, tapi agar si wanita berijtihad dengan cara memperhatikan mana yang lebih mendekati kondisinya dari wanita lain yang lebih mirip kondisi fisiknya, lebih dekat usia dan hubungan kekeluargaannya serta memperhatikan mana yang lebih mendekati haid dari keadaan darahnya dan pertimbangan-pertimbangan lainnya.
Jika kondisi yang lebih mendekati selama 6 hari, maka dia hitung masa haidnya 6hari; tetapi jika kondisi yang lebih mendekati selama 7 hari, maka dia hitung masa haidnya 7 hari.
3. Hal Wanita Yang Mirip Mustahadhah
Kadangkala seorang wanita, karena sesuatu sebab, mengalami pendarahan pada farjinya, seperti karena operasi pada rahim atau sekitarnya. Hal ini ada dua macam:
1. Diketahui bahwa si wanita tidak mungkin haid lagi setelah operasi, seperti operasi pengangkatan atau penutupan rahim yang mengakibatkan darah tidak bisa keluar lagi darinya, maka tidak berlaku baginya hukum-hukum mustahadhah. Namun hukumnya adalah hukum wanita yang mendapati cairan kuning, atau keruh, atau basah setelah masa suci. Karena itu ia tidak boleh meninggallkan shalat atau puasa dan boleh digauli. Tidak wajib baginya mandi karena keluarnya darah,tapi ia harus membersihkan darah tersebut ketika hendak shalat dan supaya melekatkan kain atau semisalnya (seperti pembalut wanita) pada farjiya untuk menahan keluarnya darah, kemudian berwudhu untuk shalat. Janganlah ia berwudhu untuk shalat kecuali telah masuk waktunya,jika shalat itu telah tertentu waktunya seperti shalat lima waktu; jika tidak tertentu waktunya maka ia berwudhu ketika hendak mengerjakannya seperti shalat sunat yang mutlak.
2. Tidak diketahui bahwa siwanita tidak bisa haid setelah operasi, tetapi diperkirakan bisa haid lagi. Maka berlaku baginya hukum mustahadhah. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi kepada Fatimah binti Abi Hubaisy: “Itu hanyalah darah penyakit, bukan haid. Jika datang haid, maka tinggalkan shalat.”
3. Sabda Nabi : “Jika datang haid..." menunjukkan bahwa hukum mustahadhah berlaku bagi wanita yang berkemungkinan haid, yang bisa datang atau berhenti.
Adapun wanita yang tidak berkemungkinan haid maka darah yang keluar pada prinsipnya, dihukumi sebagai darah penyakit.
4. Hukum-Hukum Istihadhah
Dari penjelasan terdahulu, dapat kita mengerti kapan darah itu sebagai darah haid dan kapan sebagai darah istihadhah.
Jika yang terjadi adalah darah haid maka berlaku baginya hukum-hukum haid, sedangkan jika yang terjadi darah istihadhah maka yang berlalku pun hukum-hukum istihadhah.
Hukum-hukum haid yang penting telah dijelaskan di muka. Adapun hukum-hukum istihadhah seperti,halnya hukum-hukum tuhr (keadaan suci). Tidak ada perbedaan antara wanita mustahdhah dan wanita suci, kecuali dalam hal berikut ini:
a. Wanita mustahadhah wajib berwudhu setiap kali hendak shalat. Berdasarkan sabda Nabi kepada Fatimah binti Abu Hubaisy: " Kemudian berwudhulah kamu setiap kali hendak shalat" (Hadits riwayat Al-Bukhari dalam Bab Membersihkan Darah). Hal itu memberikan pemahaman bahwa wanita mustahadhah tidak berwudhu untuk shalat yang telah tertentu waktunya kecuali jika telah masuk waktunya.
Sedangkan shalat yang tidak tertentu waktunya, maka ia bervudhu pada saat hendak melakukannya.
b. Ketika hendak berwudhu, membersihkan sisa-sisa darah dan melekatkan kain dengan kapas (atau pembalut wanita) pada farjinya untuk mencegah keluarnya darah. Berdasarkan sabda Nabi kepada Hamnah: “Aku beritahukan kepadamu (untuk menggunakan) kapas, karena hal itu dapat menyerap darah”. Hamnah berkata: “Darahnya lebih banyak dari itu”. Beliau bersabda: “Gunakan kain!". Kata Hamnah: “Darahnya masih banyak pula”. Nabipun bersabda: “Maka pakailah penahan!”
Kalaupun masih ada darah yang keluar setelah tindakan tersebut, maka tidak apa-apa hukumnya. Karena sabda Nabi kepada Fatimah binti Abu Hubaisy: “Tinggalkan shalat selama hari-hari haidmu, kemudian mandilah dan berwudhulah untuk setiap kali shalat, lalu shalatlah meskipun darah menetes di atas alas.” (Hadits riwayat Ahmad dan Ibnu Majah).
c. Jima' (senggama). Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehannya pada kondisi bila ditinggalkan tidak dikhawatirkan menyebabkan zina. Yang benar adalah boleh secara mutlak Karena ada banyak wanita,mencapai sepuluh atau lebih, mengalami istihadhah pada zaman Nabi , sementara Allah dan Rasul-Nya tidak melarang jima' dengan mereka. Firman Allah :..hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid ... " (Al-Baqarah: 222)
Ayat ini menunjukkan bahwa di luar keadaan haid, suami tidak wajib menjauhkan diri dari isteri. Kalaupun shalat saja boleh dilakukan wanita mustahadhah, maka jima 'pun tentu lebih boleh Dan tidak benar jima' wanita mustahadhah dikiaskan dengan jima 'wanita haid,karena keduanya tidak sama, bahkan menurut pendapat para ulama yang menyatakan haram. Sebab, mengkiaskan sesuatu dengan hal yang babeda adalah tidak sah.
Senin, 23 Januari 2012
HUKUM MENGGUNAKAN PIL PENUNDA HAID
Masalah penggunaan pil penunda haid bagi wanita muslimah yang ingin menyempurnakan ibadahnya baik itu puasa ramadhan maupun haji, maka sebelumnya perlu diingat bahwa para ulama sepakat, wanita muslimah yang kedatangan haid pada bulan ramadhan yang penuh berkah itu tidak wajib puasa. Artinya tidak wajib berpuasa pada bulan itu dan wajib mengqodho’nya pada bulan yang lain. Hal ini merupakan kemurahan dari Allah Subhanahu Wata'ala dan rahmatnya kepada wanita yang sedang haid, karena pada waktu itu kondisi badan seorang wanita sedang lelah dan urat-uratnya lemah. Dalam hal ini syekh al-Qordhowi berkata, ”lebih afdhol jika segala sesuatu berjalan secara alamiah sesuai dengan tabiat dan fitronya. Oleh sebab itu, Allah Subhanahu Wata'ala mewajibkan berbuka bagi muslimah yang sedang haid dan bukan sekedar membolehkan untuk berbuka. Apabila ia berpuasa, maka puasanya tidak akan diterima bahkan berdosa. Dia wajib mengqodho’nya pada hari-hari lain sebanyak hari-hari ia tidak berpuasa.
Hal ini sudah dilakukan para muslimah sejak jaman Ummahatul Mu’minin dan para sahabat wanita serta para muslimah yang mengikuti jejak mereka dengan baik. Kalau demikian, tidak ada halangan bagi wanita muslimah untuk berbuka puasa apabila siklus menstruasinya (haid) itu datang pada bulan ramadhan, tetapi ia wajib mengqodho’nya setelahnya sebagaimana diriwayatkan dari Aisyah r.a ia berkata,” Kami diperintahkan mengqodho’ puasa dan tidak diperintahkan mengqodho’ sholat.” (HR Bukhori)
Namun demikian, jika ada wanita Muslimah menggunakan pil untuk mengatur atau menunda waktu haidnya sehingga ia dapat terus berpuasa pada bulan ramadhan maupun ibadah haji, maka hal ini tidak dilarang dengan syarat pil tersebut tidak membawa efek samping medis yang membahayakan dirinya dan dapat dipertanggungjawabkan keamanannya sehingga tidak menimbulkan mudhorot baginya.
Untuk mengetahui hal ini, sudah tentu harus dikonsultasikan dulu dengan ahli obstetric (dokter ahli kandungan). Sehingga hal itu tidak mempengaruhi system kehamilan. Apabila dokter menyatakan bahwa penggunaan pil tersebut tidak membahayakan dirinya, maka ia boleh menggunakannya. Dan puasa yang dilakukannya dengan mengundurkan masa haid dari masa kebiasaannya tetap sah dan diterima (maqbul) insya Allah apabila memenuhi syarat dan rukun lainnya dengan meninggalkan segala pantangannya.Akan tetapi jika hal itu memiliki pengaruh negative bagi kesehatannya maka dilarang (lihat fatwa Al mugni : 1 / 450)
Diriwayatkan dari imam Ahmad r.a sesungguhnya ia berkata, ”Tidaklah mengapa seorang wanita muslimah menggunakan pil penunda haid, apabila pil itu sudah diketahui keamanannya” (Al mugni : 1 / 450).
Praktik dilapangan sering terjadi, mereka yang menggunakan pil penunda haid, masih saja datang bulan. Bagaimana menghadapi masalah demikian? Dalam hal ini, para ulama terbagi menjadi tiga golongan:
Pertama, jumhur ulama berpendapat bahwa wanita tersebut harus menunggu sampai ia suci darinya, kemudian ia thawaf ifadhah (rukun). Apabila rombongan wanita tersebut akan pulang ke negerinya, sedangkan wanita ini belum juga suci dan ia takut terpisah dari rombongannya, maka ia boleh pulang dan kembali pada suatu waktu dalam keadaan suci, untuk melaksanakan thawaf ifadloh tersebut. Alasan mereka adalah adanya hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari ‘Aisyah r.a Rasulullah Shollallohu'AlaihiWasallam bersabda, “Jika engkau haid, maka lakukanlah amalan-amalan haji, tetapi jangan engkau thawaf di Baitullah (ka’bah) sampai engkau suci”Dalam hadits lainNabi mnyatakan bahwa: “Thowaf adalah sholat, hanya saja Allah memperkenankan dikalah thawaf berbicara. Barang siapa yang akan berbicara berbicaralah yang baik-baik saja”.(HR. at-Turmudzi dari ibnu Abbas).
Kedua, ulama Hanafi berpendapat : bahwa wanita yang datang bulan tersebut, jika khawatir ditinggal oleh rombongannya, maka maka ia boleh melakukan thawaf ifadloh (setelah ia mandi besar), tetapi ia harus membayar dam seekor unta, atau seekor sapi. Alasan mereka bahwa wanita tersebut mempunyai udzur yang sulit untuk dihindari.
Disamping itu juga ia pulang kenegerinya, sulit untuk kembali hanya untuk melakuan thawaf. Dalam kaidah hukum islam dikatakan, ”Jika persoalan itu sulit, maka agama memberikan kelapangan (kemudahan).
Ketiga, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qoyyim dari ulama Hambali berpendapat, “ bahwa wanita itu boleh melakukan thawaf ifadlah, jika sampai waktu keberangkatan rombongan belum juga suci, dengan syarat ia harus mandi besar terlebih dahulu, kemudian ia membalut tempat keluarnya darah agar tidak mengotori masjid dan wanita terebut tidak perlu membayar dam(denda), karena situasi dan kondisi wanita itu tidak ada pilihan lain yang lebih ringan untuk melaksanakan thawaf.
Dalam surat At-Tagobun ayat 16 Allah berirman, “Maka bertaqwalah kamu kepada allah menurut kesanggupanmu”. Dan ayat 42 surat Al A’rof menyatakan, “Dan Orang –orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal sholeh, kami tidak memikulkan kewajiban kepada diri seseorang melainkan sekedar kesangupan, mereka itulah penghini –penghuni surga mereka kekal didalamnya.”
Jadi kesimpulannya minum pil penunda haid, bagi wanita muslimah untuk kelancaran suatu amal ibadah hukumnya boleh. Jika masih juga datang bulan pada waktu pelaksanaan ibadah haji, ada pendapat ulama yang menyatakan bahwa yang bersangkutan segera mandi besar dan balut tempat keluarnya darah, setelah itu lakukan thowaf dan thawaf dinyatakan sah. Wallohu A’lam...
Kamis, 12 Januari 2012
Kisah 'Jilbab Hati"
Alkisah, ada seorang wanita yang dikenal sebagai hamba yang taat dalam beribadah. Ia pun senantiasa menjaga amalan-amalan sunnahnya. Namun, satu hal yang masih luput dari perhatiannya dan hal itulah yang menjadi sebab akan kekurangannya. Yaitu ia masih enggan untuk mengenakan berjilbab sebagai penutup auratnya. Setiap kali ditanya tentang kapan ia akan mengenakan jilbab itu, ia hanya tersenyum dan menjawab, “Insyaallah. Yang penting hati dulu yang berjilbab.” Sudah banyak orang yang menanyakannya maupun menasehatinya. Tapi jawabannya tetap sama.
Hingga di suatu malam…
Ia bermimpi sedang di sebuah taman yang sangat indah. Rumputnya sangat hijau, berbagai macam bunga bermekaran. Ia bahkan bisa merasakan segarnya udara dan wanginya bunga. Sebuah sungai yang sangat jernih hingga dasarnya kelihatan, melintas di pinngir taman. Semilir angin pun ia rasakan di sela-sela jarinya. Ia tidak sendiri. Ada beberapa wanita disitu yang terlihat jjuga menikmati keindahan taman. Ia pun menghampiri salah satu wanita. Wajahnya sangat bersih, seakan-akan memancarkan cahaya yang sangat lembut.
“Assalamualaikum, saudariku..”
“Wa alaikumsalam.. Selamat datang, saudariku.”
“Terima kasih. Apakah ini surga?”
Wanita itu tersenyum. “Tentu saja bukan, saudariku. ini hanyalah tempat menunggu sebelum ke surga.” “Benarkah? Tak bisa kubayangkan seperti apa indahnya surga jika tempat menunggunya saja sudah seindah ini.”
Wanita itu tersenyum lagi. “Amalan apa yang bisa membuatmu kemari, saudariku?”
“Aku selalu menjaga waktu sholat dan aku menambahnya dengan ibadah sunnah.”
“Alhamdulillah..”
Tiba-tiba jauh di ujung taman ia melihat sebuah pintu yang sangat indah. Pintu itu terbuka. Dan ia melihat beberapa wanita yang berada di taman mulai memasukinya satu persatu.
“Ayo, kita ikuti mereka.” kata wanita itu sambil setengah berlari.
“Apa di balik pintu itu?” katanya sambil mengikuti wanita itu.
“Tentu saja surga, saudariku” larinya semakin cepat.
“Tunggu…tunggu aku..” ia berlari namun tetap tertinggal.
Wanita itu hanya setengah berlari sambil tersenyum padanya. Ia tetap tak mampu mengejarnya meski ia sudah berlari. Ia lalu berteriak, ” Amalan apa yang telah kau lakukan hingga kau begitu ringan?”
“Sama denganmu, saudariku.” jawab wanita itu sambil tersenyum.
Wanita itu telah mencapai pintu. Sebelah kakinya telah melewati pintu. Sebelum wanita itu melewati pintu sepenuhnya, ia berteriak pada wanita itu, “Amalan apalagi yang kau lakukan yang tidak kulakukan?”
Wanita itu menatapnya dan tersenyum. Lalu berkata, “Apakah kau tak memperhatikan dirimu apa yang membedakan dengan diriku?”
Ia sudah kehabisan napas, tak mampu lagi menjawab.
“Apakah kau mengira Rabbmu akan mengijinkanmu masuk ke surgaNya tanpa jilbab menutup auratmu?”
Tubuh wanita itu telah melewati pintu, tapi tiba-tiba kepalanya mengintip keluar, memandangnya dan berkata, “Sungguh sangat disayangkan amalanmu tak mampu membuatmu mengikutiku memasuki surga ini. Maka kau tak akan pernah mendapatkan surga ini untuk dirimu. Cukuplah surga hanya sampai di hatimu karena niatmu adalah menghijabi hati.”
Ia tertegun..lalu terbangun..beristighfar lalu mengambil air wudhu. Ia tunaikan sholat malam. Menangis dan menyesali perkataannya dulu..berjanji pada Allah sejak saat itu ia akan menutup auratnya.
Rabu, 04 Januari 2012
Sifat Mandi Junub Dan Perbedaannya Dengan Mandi Haidh
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta'
--------------------------------------------------------------------------------
Pertanyaan:
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta' ditanya : Apakah ada perbedaan antara mandi junub seorang pria dengan mandi junub seorang wanita ? Dan apakah seorang wanita harus melepas ikatan rambutnya atau cukup baginya menuangkan air di atas kepalanya tiga kali tuang berdasarkan suatu hadits ? Apa bedanya antara mandi junub dengan mandi haid ?
Jawaban:
Tidak ada perbedaan bagi pria dan wanita dalam hal sifat mandi junub, dan masing-masing tidak perlu melepaskan ikatan rambutnya akan tetapi cukup baginya untuk menuangkan air di atas kepalanya sebanyak tiga tuang kemudian setelah itu menyiramkan air ke seluruh tubuhnya berdasarkan hadits Ummu Salamah Radhiyallahu 'anha, bahwa ia berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Sesungguhnya saya seorang wanita yang mengikat gulungan rambut kepala saya, apakah saya harus melepaskan ikatan rambut itu untuk mandi junub ?". Rasulullah menjawab :
"Artinya : Tidak, akan tetapi cukup bagimu untuk menuangkan air sebanyak tiga kali di atas kepalamu, kemudian kamu sirami seluruh tubuhmu dengan air, maka (dengan demikian) kamu telah bersuci". [Hadits Riwayat Muslim]
Jika di atas kepala seorang lelaki maupun wanita terdapat ikatan atau pewarna rambut atau sesuatu lainnya yang dapat menghalangi mengalirnya air ke kulit kepala, maka wajib dihilangkan, akan tetapi jika itu ringan dan tidak menghalangi mengalirnya air ke kulit kepala maka tidak wajib dihilangkan.
Adapun mandinya wanita setelah haidh, para ulama berbeda pendapat tentang wajib atau tidaknya melepaskan ikatan rambutnya untuk mandinya. Yang benar, bahwa ia tidak harus melepaskan ikatan rambutnya untuk mandi tersebut, hal ini berdasarkan beberapa riwayat hadits Ummu Salamah yang diriwayatkan Muslim bahwa ia (Ummu Salamah) berkata kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Sesungguhnya saya seorang wanita yang mengikat gulungan rambut kepalaku, apakah saya harus melepaskan ikatan rambut itu untuk mandi junub ?" Rasulullah menjawab:
"Artinya : Tidak, akan tetapi cukup bagimu untuk menuangkan air sebanyak tiga kali di atas kepalamu, kemudian kamu sirami seluruh tubuhmu dengan air, (dengan demikian) maka kamu telah bersuci".
Riwayat hadits Nabi ini adalah merupakan dalil yang menunjukkan tidak adanya kewajiban untuk melepaskan ikatan rambut untuk mandi junub atau untuk mandi haidh, akan tetapi sebaiknya ikatan rambut itu dilepas saat mandi haidh sebagai sikap waspada dan untuk keluar dari perselisihan pendapat serta memadukan dalil-dalil dalam hal ini.
[Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta', 5/320]
Selasa, 03 Januari 2012
Wahai Ummi
Segala puji bagi Allah. Semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada Rasulullah, para keluarga dan para sahabat beliau, serta kepada orang-orang yang mengikuti jalan dan petunjuk beliau sampai hari pembalasan. Selanjutnya, saya tulis beberapa baris berikut ini untuk setiap ibu yang telah rela menjadikan Allah sebagai Robbnya, Islam sebagai agamanya dan Muhammad s.a.w. sebagai Nabinya, Saya menulisnya dari hati seorang anak yang saat-saat ini sedang merenungi firman Allah:
“Dan Robbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebik-baiknya, jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’, janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah: “wahai Robbku, kasihilah mereka berdua, sebagaimana mereka mendidik aku waktu kecil.” (Al-Isra’: 23-24).
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kedua ibu bapakmu.” (Luqman:14).
Saya menulis baris-baris ini kepada orang yang paling berhak mendapatkan perlakuan baik dariku.
Dari Abu Hurairah Radiyallahu ‘anhu berkata: seseorang datang kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam. dan bertanya : “wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak mendapatkan perlakuan baik dariku? Beliau menjawab : Ibumu. “tanyanya lagi : “kemudian siapa? Beliau menjawab : ‘Ibumu. ‘tanyanya lagi : ‘kemudian siapa? “Beliau menjawab : ‘Ibumu” kemudian tanyanya lagi : “kemudian siapa? Beliau mejawab : Bapakmu.” (Muttafaq alaih).
Wahai ibuku, bagaimanakah saya harus mengungkapkan perasaan yang terpendam dalam hati ini? Tak ada ungkapan yang lebih benar, yang saya dapatkan, kecuali firman Allah Subhanahu wa ta’ala:
“Katakanlah: ‘wahai Robbku, kasihilah mereka berdua, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (Al-Isra’:24).
“Wahai ibuku, jadilah – semoga Alah memberi petunjuk – seorang yang mu’minah, yang beriman kepada Allah dan para RasulNya. Jadilah seorang yang rela menjadikan Allah sebagai Robbya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam sebagai Nabi dan Rasulnya.
Dari Al-Abbas bin Abdul Muttalib Radiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam. pernah bersabda:
“Telah merasakan nikmatnya iman, orang yang rela menjadikan Allah sebagai Robbnya, Islam sebagi agamanya, dan Muhammad sebagai Rasulnya.” (riwayat Muslim).
Wahai ibuku, hendaklah ibu mempersiapkan diri dengan bekal taqwa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa.” (al-Baqarah:197).
Perhatikanlah Allah setiap saat, baik ibu dalam keadaan sembunyi maupun terang-terangan.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya bagi Allah tidak ada satupun yang tersembunyi di bumi dan tidak (pula) di langit.” (Ali Imran:5).
Wahai ibuku, sinarilah seluruh kehidupan ibu dengan sinar Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam karena di dalam keduanya terdapat kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dan hindarilah wahai ibuku, dari perbuatan yang mengikuti hawa nafsu, karena Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman :
“Maka apakah orang yang berpegang pada keterangan yang datang dari Robbnya sama dengan orang yang (telah dijadikan oleh syetan) memandang perbuatannya yang buruk itu sebagai perbuatan baik dan mengikuti hawa nafsunya.” (Muhammad:14).
Hendaklah akhlak ibu adalah Alqur’an.
Dari Aisyah Radiyallahu ‘anha berkata:
“Akhlak Nabi adalah alqur’an”.
Wahai ibuku, jadilah suri tauladan yang baik untuk anak-anak ibu, dan berhati-hatilah jangan sampai mereka melihat ibu melakukan perbuatan yang menyimpang dari perintah Allah Subhanahu wa ta’ala . dan RasulNya Shalallahu ‘alaihi wassalam karena anak-anak biasanya banyak terpengaruh oleh ibunya.
Wahai ibuku, jadilah ibu sebagai isteri shalehah yang paling nikmat bagi sang suami, agar anak-anak ibu dapat terdidik dengan pertolongan Allah dalam suatu rumah yang penuh kebahagiaan suami isteri.
Wahai ibuku, saya wasiatkan – semoga Allah menjaga ibu dari segala kejahatan dan kejelekan- agar ibu memperhatikan kuncup-kuncup mekar dari anak-anak ibu dengan pendidikan Islam, karena mereka merupakan amanat dan tanggung jawab yang besar bagi ibu, maka peliharalah mereka dan berilah hak pembinaan mereka.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan orang-orang yang memelihara amanah dan janjinya.” (Al-Mu’minun:8).
Rasulullah saw bersabda:
“Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap kamu bertanggungjawab terhadap yang dipimpinnya.” (muttafaq alaih).
Wahai ibuku, hendaklah rumah ibu merupakan contoh yang ideal dan benar bagi rumah keluarga muslim, tidak terlihat di dalamya suatu yang diharamkan dan tidak pula terdengar suatu kemungkaran, sehingga anak-anak- dapat tumbuh dengan penuh keimanan, mempunyai akhlak yang baik, dan jauh dari setiap tingkah laku yang tidak baik.
Wahai ibuku, jadilah ibu –semoga Allah memberi taufiq kepada ibu untuk setiap kebaikan- sebagai isteri yang dapat bekerja sama dengan suami ibu dalam memahami problematika dan kesulitan yang dihadapi anak-anak, dan bersama-sama mencarikan upaya penyelesaiannya dengan cara yang benar. Hendaknya ibu bersama bapak mempunyai peranan yang besar dalam memilihkan teman-teman yang baik untuk mereka, dan menjauhkan mereka dari teman-teman yang tidak baik. Perhatikan penjagaan mereka, agar terjauhkan dari sarana yang merusak akhlak mereka, kerena kita sekarang berada pada zaman yang penuh dengan penganjur kerusakan, baik dari golongan manusia maupun dari golongan jin. Perhatikan sungguh-sungguh perkawinan putera-puteri ibu bapak pada masa lebih awal dan bantulah mereka, karena perkawinan itu akan lebih menjaga mata dan keselamatan seksual mereka, dimana Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam telah menunjukkan hal ltu:
“Wahai seluruh kaum remaja, barangsiapa diantara kamu telah mempunyai kemampuan maka kawinlah, karena hal itu lebih membantu menahan pandangan mata dan menjaga kelamin. Dan barangsiapa belum mampu, hendaknya berpuasa, karena itu merupakan obat baginya.” (muttafaq alaih).
Wahai ibuku, peliharalah shalat lima waktu pada waktunya masing-masing terutama shalat fajar, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman: “Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (An-Nisa’:103).
Usahakan untuk selalu khusyu’ dalam shalat. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Sesunguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya.” (Al-Mu’minun: 1-2).
Dan dengan itu, ibu menjadi suri tauladan yang baik bagi putera-puteri ibu.
Wahai ibuku, jadilah suri tauladan yang baik bagi putera-puteri ibu dalam keteguhan memakai pakaian hijab syar’i yang sempurna, terutama tutup wajah. Hal itu sebagai ketaatan kita pada perintah Sang Pencipta langit dan bumi dalam firmanNya:
“Hai Nabi, katakanlah kepada para isterimu, puteri-puterimu, para isteri orang-orang mu’min, agar mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak digangu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Ahzab:59).
Wahai ibuku, handaknya rasa malu merupakan akhlak yang ibu miliki, karena demi Allah malu itu termasuk bagian dari iman.
Dari Ibnu Umar Radiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam. pernah melewati seorang dari kaum Anshar yang sedang menasehati saudaranya tentang rasa malu, kemudian Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Biarkan dia, karena sesungguhnya malu itu termsuk bagian dari iman.” (Muttafaq alaih).
Wahai ibuku, hendaknya do’a kepada Allah merupakan senjata bagi ibu dalam mengarungi kehidupan ini, dan bergembiralah dengan akan datangnya kebaikan, karena Robb telah menjanjikan kita dengan firmannya: “Dan tuhanmu berfirman: ‘berdo’alah kepadaKu, niscaya akan Ku perkenankan bagimu.” (Al-Mu’min: 60).
Dari An-Nu’man bin Basyir Radiyallahu ‘anhu dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Do’a adalah ibadah.” (riwayat Abu Daud, dan Tirmizi, dan katanya: hadist hasan shahih).
Kepada Allah aku memohon agar menjaga ibu dengan penjagaanNya, memelihara ibu dengan pemeliharaanNya, membahagiakan ibu di dunia dan akhirat, dan mengumpulkan kita, ibu-ibu kita, bapak-bapak kita, dan seluruh kaum muslimin dan muslimat di dalam surgaNya yang ni’mat. Sesungguhnya Robbku Maha Dekat, Maha Mengabulkan dan Mendengarkan do’a.
(Dinukil dari : نصائح و توجيهات إلى الأسرة المسلمة
Edisi Indonesia "Beberapa Nasehat Untuk
Keluarga Muslim". Karya Yusuf Bin Abdullah At-Turki)
Minggu, 25 Desember 2011
19 Keistimewaan Wanita Muslimah
1. Doa wanita lebih makbul daripada lelaki karena sifat penyayangnya yang lebih kuat dari lelaki.
2. Wanita yang Sholichah itu lebih baik daripada 1000 orang lelaki yang sholeh.
3. Barang siapa yang menggembirakan anak wanitanya, derajatnya seumpama orang yang senantiasa menangis karena takutkan Allah.
4. Barang siapa yang membawa hadiah ( oleh-oleh ) lalu diberikan kepada keluarganya, hendaklah mendahulukan anak wanitanya dari anak laki-laki
5. Wanita yang tinggal bersama anak-anaknya akan tinggal bersama Rasulullah SAW didalam Syurga.
6. Barang siapa mempunyai 2 atau 3 anak wanita, atau 2 atau 3 saudara wanita lalu dia bersikap ichsan dalam pergaulan dengan mereka dan mendidik mereka dengan penuh rasa taqwa dan tanggung jawab maka baginya adalah Syurga.
7. Barang siapa yang diuji dengan sesuatu daripada anak-anak wanitanya, lalu dia berbuat baik kepada mereka, maka mereka akan menjadi penghalang baginya dari api neraka (Aisyah r.a.).
8. Syurga dibawah telapak kaki Ibu ( Hadits )
9. Wanita yang taat berkhidmat kepada suaminya akan tertutup pintu-pintu neraka dan terbuka pintu-pintu syurga, maka masuklah dari pintu yang dikehendaki.
10. Wanita yang taat akan suaminya serta menjaga sholat dan puasanya, semua ikan-ikan dilaut, burung di udara, malaikat di langit, matahari dan bulan, semuanya beristighfar baginya selama dia taat pada suaminya dan direlakanya.
11. Apabila memanggil akan engkau dua orang Ibu Bapakmu, maka jawablah panggilan Ibumu dahulu.
12. Aisyah r. a. berkata “ Aku bertanya kepada Rasulullah SAW, siapakah yang lebih besar haknya terhadap wanita ? “ Jawab Baginda, “ Suaminya “ Siapa pula berhak terhadap lelaki ? Jawab Rasulullah “ Ibunya “
13. Wanita apabila sholat 5 waktu, puasa 1 bulan Ramadhan, memelihara kehormatannya serta taat akan suaminya, masuklah dia dari pintu Syurga mana saja yang dia kehendaki.
14. Tiap wanita yang menolong suaminya dalam urusan agama, maka Allah S.W.T memasukkan dia kedakam Syurga 10.000 tahun lebih dahulu dari suaminya.
15. Apabila seorang wanita mengandung janin dalam rahimnya, maka beristighfarlah para malaikat untuknya. Allah S.W.T mencatatkan baginya setiap hari dengan 1000 kebaikan dan menghapuskan darinya 1000 kejahatan.
16. Apabila seorang wanita mulai sakit hendak bersalin, maka Allah S.W.T mencatatkan baginya pahal orang yang berjihad pada jalan Allah.
17. Apabila seorang wanita melahirkan anak, keluarlah dia daripada dosa-dosa seperti keadaan ibunya melahirkannya
18. Apabila telah lahir anaknya lalu disusuinya, maka bagi ibu itu setiap satu tegukan dari pada susunya diberi satu kebajikan.
19. Apabila ibu semalaman tidak tidur karena memelihara anaknya yang sakit, maka Allah S.W.T memberinya pahala seperti memerdekakn 70 orang hamba dengan ikhlas untuk membela agama Allah.
Langganan:
Postingan (Atom)