Home


"Barangsiapa yang tidak mau bersabar mengecap pahitnya menuntut ilmu, niscaya sisa usianya akan berada dalam kebodohan... Dan barangsiapa yang bersabar dalam menuntut ilmu, niscaya ia akan memperoleh kemuliaan dunia dan akhirat..." [Kitab Al Majmu' : 1/38]

Senin, 23 Januari 2012

HUKUM MENGGUNAKAN PIL PENUNDA HAID


Masalah penggunaan pil penunda haid bagi wanita muslimah yang ingin menyempurnakan ibadahnya baik itu puasa ramadhan maupun haji, maka sebelumnya perlu diingat bahwa para ulama sepakat, wanita muslimah yang kedatangan haid pada bulan ramadhan yang penuh berkah itu tidak wajib puasa. Artinya tidak wajib berpuasa pada bulan itu dan wajib mengqodho’nya pada bulan yang lain. Hal ini merupakan kemurahan dari Allah Subhanahu Wata'ala dan rahmatnya kepada wanita yang sedang haid, karena pada waktu itu kondisi badan seorang wanita sedang lelah dan urat-uratnya lemah. Dalam hal ini syekh al-Qordhowi berkata, ”lebih afdhol jika segala sesuatu berjalan secara alamiah sesuai dengan tabiat dan fitronya. Oleh sebab itu, Allah Subhanahu Wata'ala mewajibkan berbuka bagi muslimah yang sedang haid dan bukan sekedar membolehkan untuk berbuka. Apabila ia berpuasa, maka puasanya tidak akan diterima bahkan berdosa. Dia wajib mengqodho’nya pada hari-hari lain sebanyak hari-hari ia tidak berpuasa.
Hal ini sudah dilakukan para muslimah sejak  jaman Ummahatul Mu’minin dan para sahabat wanita serta para muslimah yang mengikuti jejak mereka dengan baik. Kalau demikian, tidak ada halangan bagi wanita muslimah untuk berbuka puasa apabila siklus menstruasinya (haid) itu datang pada bulan ramadhan, tetapi ia wajib mengqodho’nya setelahnya sebagaimana diriwayatkan dari Aisyah r.a ia berkata,” Kami diperintahkan mengqodho’ puasa dan tidak diperintahkan mengqodho’ sholat.” (HR Bukhori)
Namun demikian, jika ada wanita Muslimah menggunakan pil untuk mengatur atau menunda waktu haidnya sehingga ia dapat terus berpuasa pada bulan ramadhan maupun ibadah haji, maka hal ini tidak dilarang dengan syarat pil tersebut tidak membawa efek samping medis yang membahayakan dirinya dan dapat dipertanggungjawabkan keamanannya sehingga tidak menimbulkan mudhorot baginya.
 Untuk mengetahui hal ini, sudah tentu harus dikonsultasikan dulu dengan ahli obstetric (dokter ahli kandungan). Sehingga hal itu tidak mempengaruhi system kehamilan. Apabila dokter menyatakan bahwa penggunaan pil tersebut tidak membahayakan dirinya, maka ia boleh menggunakannya. Dan puasa yang dilakukannya dengan mengundurkan masa haid dari masa kebiasaannya tetap sah dan diterima (maqbul) insya Allah apabila memenuhi syarat dan rukun lainnya dengan meninggalkan segala pantangannya.Akan tetapi jika hal itu memiliki pengaruh negative bagi kesehatannya maka dilarang (lihat fatwa Al mugni : 1 / 450)
Diriwayatkan dari imam Ahmad r.a sesungguhnya ia berkata, ”Tidaklah mengapa seorang wanita muslimah menggunakan pil penunda haid, apabila pil itu sudah diketahui keamanannya” (Al mugni : 1 / 450).
Praktik dilapangan sering terjadi, mereka yang menggunakan pil penunda haid, masih saja datang bulan. Bagaimana menghadapi masalah demikian? Dalam hal ini, para ulama terbagi menjadi tiga golongan:
Pertama, jumhur ulama berpendapat bahwa wanita tersebut harus menunggu sampai ia suci darinya, kemudian ia thawaf ifadhah (rukun). Apabila rombongan wanita tersebut akan pulang ke negerinya, sedangkan wanita ini belum juga suci dan ia takut terpisah dari rombongannya, maka ia boleh pulang dan kembali pada suatu waktu dalam keadaan suci, untuk melaksanakan thawaf ifadloh tersebut. Alasan mereka adalah adanya hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari ‘Aisyah r.a Rasulullah Shollallohu'AlaihiWasallam  bersabda, “Jika engkau haid, maka lakukanlah amalan-amalan haji, tetapi jangan engkau thawaf di Baitullah (ka’bah) sampai engkau suci”Dalam hadits lainNabi mnyatakan bahwa: “Thowaf adalah sholat, hanya saja Allah memperkenankan dikalah thawaf berbicara. Barang siapa yang akan berbicara berbicaralah yang baik-baik saja”.(HR. at-Turmudzi dari ibnu Abbas).
Kedua, ulama Hanafi berpendapat : bahwa wanita yang datang bulan tersebut, jika khawatir ditinggal oleh rombongannya, maka maka ia boleh melakukan thawaf ifadloh (setelah ia mandi besar), tetapi ia harus membayar dam seekor unta, atau seekor sapi. Alasan mereka bahwa wanita tersebut mempunyai udzur yang sulit untuk dihindari.
Disamping itu juga ia pulang kenegerinya, sulit untuk kembali hanya untuk melakuan thawaf. Dalam kaidah hukum islam dikatakan, ”Jika persoalan itu sulit, maka agama memberikan kelapangan (kemudahan).
Ketiga, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qoyyim dari ulama Hambali berpendapat, “ bahwa wanita itu boleh melakukan thawaf ifadlah, jika sampai waktu keberangkatan rombongan belum juga suci, dengan syarat ia harus mandi besar terlebih dahulu,          kemudian ia membalut tempat keluarnya darah agar tidak mengotori masjid dan wanita terebut tidak perlu membayar dam(denda), karena situasi dan kondisi wanita itu tidak ada pilihan lain yang lebih ringan untuk melaksanakan thawaf.
Dalam surat At-Tagobun ayat 16 Allah berirman, “Maka bertaqwalah kamu kepada allah menurut kesanggupanmu”. Dan ayat 42 surat Al A’rof menyatakan, “Dan Orang –orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal sholeh, kami tidak memikulkan kewajiban kepada diri seseorang melainkan sekedar kesangupan, mereka itulah penghini –penghuni surga mereka kekal didalamnya.”
Jadi kesimpulannya minum pil penunda haid, bagi wanita muslimah untuk kelancaran suatu amal ibadah hukumnya boleh. Jika masih juga datang bulan pada waktu pelaksanaan ibadah haji, ada pendapat ulama yang menyatakan bahwa yang bersangkutan segera mandi besar dan balut tempat keluarnya darah, setelah itu lakukan thowaf dan thawaf dinyatakan sah. Wallohu A’lam...












Tidak ada komentar:

Posting Komentar