kami muqoddimahi tulisan ini dengan sedikit memaparkan asal-usul munculnya ide untuk mengangkat tema ini. Beberapa waktu yang lalu, di dalam kotak pesan Hp kami yang mungil, mendarat sebuah tulisan singkat dari seorang teman karib. Ia menuturkan bahwa saat ini dirinya sedang ditimpa sebuah persoalan yang membuat kehidupannya tidak nyaman. Kasusnya itu bermula ketika ia mempunyai hubungan khusus dengan teman wanita alias pacaran. Padahal bagi kalangan pecinta pacaran yang sedang dimabuk cinta dan asmara tentunya tiada hari tanpa ketemuan. Karena keseringan berinteraksi dengan si pujaan hati yang cantik jelita dan menggoda inilah akhirnya memunculkan efek yang negatif, yaitu timbul gejolak jiwa yang menjurus kapada syahwat atau nafsu. Ia pun mulai kebingungan untuk menanggulangi masalah ini, sehingga akan disalurkan kemanakah birahinya itu, apakah dengan mangajak sang pacar untuk berhubungan intim yang itu jelas-jelas bertentangan dengan nilai agama dan hati nuraninya sendiri, atau bagaimana. Yang pada asalnya ia tetap membutuhkan tempat untuk penyaluran nafsu seksualnya itu sebagai sebuah akibat dari interaksinya itu.
Nah, karena berada dalam kondisi yang dilematis inilah akhirnya ia memutuskan untuk memilih melakukan onani. Ia beranggapan bahwa onani itu merupakan solusi yang paling aman karena efek yang ditimbulkan cukup minim yang hanya menimpa dirinya sendiri. Benarkah demikian..??. Namun dengan seiring berjalannya waktu, iapun kembali dilanda kebingunggan karena mendapati beberapa info kesehataan tentang bahaya yang akan dialami oleh para pecandu onani. Akhirnya iapun memberanikan diri untuk melayangkan SMS kepada sang penulis untuk menanyakan tentang bolehkah melakukan onani dalam pandangan islam..??
Kalau kita mau jujur, sebenarnya masih banyak lagi kasus-kasus yang serupa menimpa sahabat-sahabat kita di luar sana, yang kemunculannya dilatarbelakangi olah banyak faktor. Tapi mari kita mencoba bersama-sama menelusuri masalah ini secara bijak, dan semoga kesimpulan akhirnya nanti dapat memberikan pencerahan bagi panulis dan pembaca sekalian dimanapun berada. Amiin..
Kita mulai denga membahas tentang pengartian atau ta’rif onani itu sendiri. didalam bahasa arab onani atau masturbasi dikenal dengan istilah Al Istimna’. Dalam kitab Syarh ‘Umdatul Ahkam pada bab Nikah, disana disebutkan bahwa istimna’ itu adalah berusaha untuk mengeluarkan air mani (sperma) yang dilakukan diluar jima’ (bersetubuh), baik dengan tangan atau selainnya dan bertujuan untuk mendapatkan kenikmatan diri sendiri. Artinya, istilah-istilah seperti onani, masturbasi, coli, main sabun, dan lain-lain, merupakan satu istilah yang biasa digunakan untuk menyatakan sebuah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dalam memenuhi kebutuhan seksualnya, dengan menggunakan media tangan maupun dengan menambahkan alat bantu berupa sabun atau benda-benda lain, sehingga dengannya dia bisa mengeluarkan mani dan membuat dirinya (lebih) tenang. Yang pada prakteknya kebiasaan ini sering dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Kemudian sebagai tambahan pengetahuan saja. Di dalam versi kristen, disebutkan bahwa istilah Onani itu berasal dari nama yaitu salah seorang anak dari Judas (cucu dari Jacob) yaitu Onan. Di dalam Injil, diceritakan bahwa Onan diperintahkan oleh ayahnya (Judas) untuk bersetubuh dengan istri kakaknya, namun Onan tidak bisa melakukannya sehingga saat mencapai puncaknya, dia membuang spermanya (mani) di luar rahim, yang di kemudian hari tindakan ini dikenal dengan istilah azl (dalam bahasa Arab) atau coitus interruptus (dalam istilah kedokterannya).
Dari cerita Onan ini terdapat dua versi. Versi pertama menyebutkan bahwa Onan telah berhubungan badan dengan istri kakaknya lalu membuang maninya di luar rahim. Dan versi yang kedua menyebutkan bahwa Onan tidak menyetubuhi istri kakaknya, akan tetapi ia melakukan pemuasan diri sendiri (coli). karena ketidak beraniannya untuk menyetubuhi istri kakaknya sedangkan birahi di dada semakin memuncak, sehingga dari perbuatan Onan ini akhirnya lahirlah istilah Onani sebagai penisbahan terhadap perbuatannya.
Kembali kepada pandangan islam berkaitan tentang masalah ini. Sebelumnya kami sampaikan bahwa penulis mengalami kesuitan ketika ingin menyampaikan bukti-bukti pendukung tentang akibat yang ditimbulkan dari aktifitas onani ini ketika ditinjau dari sisi medis atau kedokteran. Karena ketika penulis mencari makalah-makalah di dalam dunia maya (Internet) berkenaan dampak onani ini, banyak sekali terjadi perbedaan yang mencolak dari pihak yang pro-kontra. Berangkat dari keminiman pengetahuan tentang ilmu kedokteran inilah akhirnya penulis lebih mutma’in untuk membahas masalah ini dengan meninjau dari sisi hukum syariat islam.
Apabila kita membaca buku-buku fiqh dan fatawa para ulama, maka akan dijumpai bahwa mayoritas ulama (Jumhur Ulama’) seperti Imam Syafi’i, Imam Maliki, Ibnu Taimiyah, Abdulloh Bin Baz, Yusuf Qardhawi dan lainnya mengharamkan perbuatan onani atau masturbasi ini. Dengan mengacu pada nash syar’I yang terdapat dalam firman Allah SWT,
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ . إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ . فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ
“Dan orang-orang yang memelihara kemaluan mereka kecuali terhadap isterinya atau hamba sahayanya, mereka yang demikian itu tidak tercela. Tetapi barangsiapa berkehendak selain dari yang demikian itu, maka mereka itu adalah orang-orang yang melewati batas.” (QS. Al-Mu’minun : 5-7).
Ayat-ayat ini menerangkan bahwa seseorang itu haruslah menjaga kehormatan diri dan kemaluannya dengan hanya melakukan hubungan seksual bersama isteri-isterinya atau hamba-hambanya. Hubungan seksual seperti ini adalah suatu perbuatan yang baik, tidak tercela di sisi agama. Akan tetapi, jikalau seseorang itu mencoba mencari kepuasan seksual dengan cara-cara selain bersama pasangannya yang sah, seperti zina, pelacuran, onani atau persetubuhan dengan binatang, maka hal itu dipandang sebagai sesuatu yang melampaui batas dan termasuk salah satu dari dosa-dosa besar, karena melakukannya bukan pada tempatnya. Demikian ringkas penerangan Imam Asy-Syafi’i dan Imam Malik apabila mereka ditanya mengenai hukum onani.
Selain itu, para ulama juga menggunakan dalil dari hadis Nabi SAW, yang berbunyi…
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَ
Dari Abdurrahman bin Yazid dari Abdullah ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang telah memperoleh kemampuan untuh menanggung beban rumahtangga, maka menikahlah. Karena sesungguhnya, perhikahan itu lebih mampu menahan pandangan mata dan menjaga kemaluan. Dan, barangsiapa belum mampu melaksanakannya, hendaklah ia berpuasa karena puasa itu akan meredakan gejolak hasrat seksual." (HR. Muslim).
Pada hadits ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan bijak menyebutkan dua hal yang semestinya menjadi alternatif dalam menentukan tindakan bagi kalangan pemuda. yaitu Pertama, Segera menikah bagi yang mampu. Kedua, Meredam nafsu syahwat dengan melakukan puasa bagi orang yang belum mampu menikah, sebab puasa itu dapat melemahkan godaan dan bisikan syetan. Jadi Rosululloh sama sekali tidak menyebutkan onani sebagai sebuah jalan keluar.
Syaikh Waliullah Dahlawi juga pernah mengatakan, “Ketika air mani keluar atau muncrat dengan jumlah yang banyak, ia juga akan mempengaruhi fikiran manusia. Oleh sebab itu, seorang pemuda akan mulai menaruh perhatian terhadap wanita cantik dan hati mereka mulai terpaut kepadanya. Faktor ini juga mempengaruhi alat kejantanannya yang sering meminta disetubuhi hingga menyebabkan desakan lebih menekan jiwa dan keinginan untuk melegakan syahwatnya menjadi kenyataan dengan berbagai bentuk. Dalam hal ini para bujangan akan terdorong untuk melakukan zina. Dengan perbuatan tersebut moralnya mulai rusak dan akhirnya dia akan tercebur kepada perbuatan-perbuatan yang lebih merusak.”
Disisi lain, ada juga sebagian ulama’ yang masih membolehkan onani ini. Hal itu diutarakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau menyatakan bahwa, “Sperma atau mani adalah benda atau barang lebih yang ada pada tubuh manusia, yang mana boleh dikeluarkan sebagaimana halnya memotong dan menghilangkan daging lebih dari tubuh.” Dan pendapat ini diperkuat oleh Ibnu Hazm.
Namun, ketika kita kembalikan masalah ini dengan menimbang kepada berkara manfaat dan madhorot, sebenarnya pendapat ini hanya boleh digunakan bagi orang yang telah menikah atau tinggal berjauhan (long distance) dengan pasangan sahnya. Maka hal itu sebagai bentuk aplikasi dari memelihara kemaluan mereka agar terhindar dari hal-hal yang lebih merusak. Karena orang yang pernah merasakan nikmatnya bersetubuh akan lebih besar kemungkinannya untuk terjerumus kepada maksiat yang besar dibandingkan dengan orang yang belum pernah. Hal ini sesuai dengan kaidah ushul fiqh yang menyatakan bahwa, ”Dibolehkan melakukan bahaya yang lebih ringan supaya dapat dihindari bahaya yang lebih berat”. Sehingga dapat disimpulkan bahwa onani atau masturbasi yang dilakukan oleh seseorang yang telah menikah karena tarhalang untuk melakukan hubungan jima’ dengan pasangannya adalah boleh.
Satu hal yang harus diperhatikan, bahwa hukum pembolehan onani diikuti oleh syarat-syarat yang ditetapkan oleh ulama Hanafiah dan fuqaha hanbali. Yaitu: Takut melakukan perbuatan zina baik bagi yang telah menikah atau belum mampu untuk kawin (nikah) dan tidaklah menjadikannya sebagai sebuah kebiasaan (adat).
Dengan kata lain, dengan dalil dari Imam Ahmad ini, onani boleh dilakukan apabila suatu ketika insting (birahi) itu memuncak dan dikhawatirkan bisa membuat yang bersangkutan melakukan hal yang haram. Misalnya, seorang pemuda yang sedang belajar di luar negeri, karena lingkungan yang terlalu bebas baginya (dibandingkan dengan kondisi asalnya) akibatnya dia sering merasakan instingnya memuncak. Daripada dia melakukan perbuatan zina, maka dalam kasus ini dia diperbolehkan onani. Akan tetapi apabila ia dapat membentengi dirinya untuk tidak melakukan hal itu, maka perbuatan ini amatlah mulia.
Sayang seribu sayang, ketetapan hukum yang telah ada sering tidak berjalansesuai koridornya. Persyaratan yang telah ditetapkan oleh para Ulama’ di atas sering diabaikan oleh kalangan pecandu onani hari ini, karena termakan oleh bisik-bisik setan yang menguasai nafsu mereka. Memang tidak ada sebab tunggal yang melatarbelakangi terjadinya kasus-kasus penyimpangan seksual seperti ini. Karena hal itu biasanya terjadi kerena ada beberapa faktor saling mendukung dan menguatkan. Lemahnya iman dan sikap meremehkan dosa berpadu dengan terbukanya kesempatan yang dibumbui lagi dengan sarana-sarana pendukung seperti VCD, tabloid porno, dan munculnya hobbi baru seperti berkhayal tantang hal yang mesum, yang pada akhirnya jelas sekali bahwa hal ini bisa menjadi fasilitas yang dapat menggiring seseorang untuk melakukan tindakan perkara yang sampai pada tataran pecandu onani.
Sebagai seorang muslim yang baik tentunya kita akan memilih solusi yang telah jauh-jauh hari disampaikan olah Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam dalam hadits yang sebelumnya, yaitu hendaklah bagi merekayang belim mampu untuk menikah lebih banyak membentengi dirinya dengan memperbanyak amalan puasa, di mana puasa itu dapat mendidik keinginan, mengajar kesabaran dan menguatkan takwa serta muraqabah kepada Allah Taala di dalam diri seorang muslim.
Ingat, onani bukanlah sebuah solusi, apalagi bagi kita yang hari ini masih dalam kondisi lajang. Janganlah kita sekali-kali tertipu dengan iming-iming setan yang menggambarkan kenikmatan sesaat itu yang pada hakikatnya adalah semu. Relakah kita apabila atas perbuatan kita yang kita anggap kecil ini akhirnya menyerat kita kepada zina yang sesungguhnya, sehingga kita digolongkan oleh Alloh ta’ala menjadi orang-orang yang tertipu dan merugi di yaumul akhir nanti..?? tentu tidak bukan. Dan sejauh apapun kita terjerumus dalam permasalahan ini, selama nyawa belum berada di kerongkongan tak ada kata terlambat untuk kembali meraih kasih sayang dan hidayah Alloh Ta’ala.
Pambahasan ini amatlah singkat. Penulis berkeyakinan bahwa masih terdapat banyak kesalahan di dalam penulisan ini, maka saran dari pembaca selalu kami nantikan. Semoga risalah ini dapat memberikan lebih banyak kemanfaatan bagi kaum muslimin seluruhnya. Dan akhirnya, penulis kembali barwasiat kapada diri pribadi dan para pembaca sekalian, dengan mengutip firman Alloh ta’ala yakni,..
إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ
“(yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri.” ( QS. Qof : 17)
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al Isro’ : 36)
Wallohu A’lam Bishowab…
By. Akh Rohmat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar