PADA HARI
SELASA tanggal 27 Maret 2012, sejumlah tokoh MIUMI (Majelis Intelektual dan Ulama
Muda Indonesia) bersilaturrahim ke kantor MUI (Majelis Ulama Indonesia) Pusat,
yang terletak di jalan Proklamasi nomor 51, Jakarta Pusat. Pada kesempatan itu,
Farid Ahmad Okbah pakar syi’ah dari MIUMI membeberkan bukti-bukti kesesatan
syi’ah, setidaknya yang terjadi di Indonesia.
Pada
kesempatan yang sama, salah seorang pengurus MUI Pusat KH Anwar Abbas yang
turut hadir mengatakan, sejauh ini memang ada upaya penjinakkan yang
dilakukan pemerintah Iran kepada tokoh-tokoh Islam Indonesia dengan cara mengundang
mereka datang ke Iran. Penjinakkan yang dimaksud, tentunya berkenaan dengan
sikap tegas umat Islam yang memposisikan paham sesat syi’ah sebagai induk
kesesatan, apapun jenis sektenya.
Upaya
penjinakkan itu, seperti mendapat pembenaran dari Habib RS, yang pada 08 Mei
2006 lalu pernah diundang ke Iran oleh Ayatullah Taskhiri (Taqrib bainal
Mazahib). Saat itu Habib RS tidak sendiri, ia bersama sejumlah ‘tokoh’ Islam
seperti Dr Jose Rizal (Ketua MER-C), Dr Abdul Mukti (saat itu Ketua Pemuda
Muhammadiyah), Ir M Iqbal (saat itu Wakil Sekjen Nahdlatul Ulama), penyanyi
Hadad Alwi, ustadz Ustman Syahab Lc, dan Hasan Dalil Lc.
Pembenaran
dimaksud, dapat ditemukan pada materi jawaban Habib RS saat diwawancarai oleh
majalah SYIAR, Mei 2009, sebagai berikut:
“Ada beberapa
kesan yang saya dapat dari kunjungan saya ke Iran. Sebagai Sunni Syafi’i, tentu
kita punya pandangan sendiri tentang Syiah. Namun demikian, antara memandang
Syiah dari jauh dengan memandang Syiah dari dekat itu beda. Dari jauh, Syiah
itu begini dan begitu. Sedangkan bila dilihat dari dekat, ternyata tidak
seperti itu. Setidaknya, kunjungan saya (ke Iran -red) itu akan melunturkan
kebekuan. Tadinya mungkin kaku dan anti-dialog. Tapi setelah kunjungan itu,
agak sedikit lebih cair dan terbuka. Yang kemarin tidak mau
mendengar sekarang jadi mau mendengar. Yang kemarin mau menyerang kini mengajak
dialog.”
Meski
jawaban Habib RS (2009) atas pertanyaan yang diajukan majalah SYIAR tidak
dimaksudkan sebagai ‘pembenaran’ terhadap dugaan yang dikhawatirkan KH Anwar
Abbas (2012), namun begitulah faktanya.
Artinya, dugaan dan kekhawatiran KH Anwar Abbas sesungguhnya merupakan
kenyataan yang sedang berlangsung. Dengan kata lain, upaya penjinakkan itu
memang benar-benar terjadi.
Cenderung
Syi’ah
Melalui
berbagai pernyataannya yang pernah dipublikasikan berbagai media massa,
tentunya bekenaan dengan syi’ah, sikap Habib RS bisa dinilai cenderung kepada
syi’ah. Misalnya, ketika Habib RS diwawancarai oleh M. Turkan dari Islam
Alternatif (Islat). Wawancara berlangsung di sela-sela silaturrahim dan seminar
bertema Pergerakan Islam di Indonesia yang berlangsung di Kampus
Universitas Imam Khomeini Qom, Iran, Mei 2006.
Ketika M.
Turkan dari Islam Alternatif bertanya tentang kaitan konsep amar ma’ruf yang
menjadi dasar bertindak FPI dengan tindakan penghantaman terhadap paham sesat
Ahmadiyah, ketika itu Habib RS menjawab: “Kalau Ahmadiyyah itu memang kita
harus bedakan, karena ada perbedaan dan ada penyimpangan. Kalau antara
mazahib-mazahib Islamiyyah seperti Syafi’i, Maliki, Hambali, Hanafi, termasuk
Ja’fari, dan lain sebagainya, ini kita anggap termasuk di dalam lingkar
perbedaan yang kita harus tenggang rasa juga berdialog…”
Jawaban
Habib RS seperti itu, jelas khas jawaban para penganut syi’ah yang masih belum
mau berterus terang dengan ke-SYI’AH-annya. Pertama, mereka memposisikan paham
sesat syi’ah sebagai salah satu madzhab dalam Islam, yaitu madzhab Ja’fari.
Kedua, perbedaan Islam (ahlussunnah wal jama’ah) dengan syi’ah (madzhab
Ja’fari) masih bisa diselesaikan dengan dialog.
Padahal,
kesesatan Ahmadiyah juga sebanding saja dengan kesesatan syi’ah. Ahmadiyah
(Qadyan) selain menjadikan Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi setelah Nabi
Muhammad SAW dan menjadikan TAZKIRAH sebagai kitab suci, tidak ada
menjelek-jelekkan sahabat, memaki-maki sahabat, mengkafirkan sahabat,
mengatakan malaikat Jibril salah alamat ketika memberikan wahyu yang seharusnya
kepada Ali bin Abi Thalib, tetapi kesasar kepada Muhammad bin Abdullah SAW.
Dalam kasus
Ahmadiyah, Habib RS (sikapnya) sebagaimana Rabithah Alam Islami (Liga Muslim
Sedunia), tidak perlu repot-repot membedakan antara Qadiyani dan Lahore yang
‘hanya’ menjadikan Mirza Ghulam Ahmad sebagai mujadid semata. Pokoknya,
Ahmadiyah itu sesuatu yang berada di luar Islam. Begitu juga dengan Inkarussunnah,
Islam Jama’ah, dan sebagainya dinyatakan sudah keluar dari Islam.
Namun ketika
membahas soal syi’ah, standard yang digunakan Habib RS berbeda: “…kita tidak
bisa menggeneralisasi semua Syiah sesat atau semua Syiah tidak sesat…”
Perlu
difahami, kalimat seperti yang dilontarkan Habib RS ini, sering digunakan oleh kalangan pendukung
syi’ah yang masih enggan mengakui ke-SYI’AH-annya, misalnya sebagaimana
disampaikan oleh ustadz Husein Alatas (salah satu narasumber Radio Silaturahim/
Rasil) kepada jama’ahnya.
Di Radio
Silaturahim (Rasil) selain ada ustadz Husein Alatas yang enggan disebut syi’ah,
juga ada ustadz Zein Al-Hadi, salah satu ustadz syi’ah yang berkawan baik
dengan Habib RS (menurut pengakuan RS sendiri): “…Ini sebagai gambaran umum
dari apa yang saya terima dari Ustadz Hassan Daliel, Ustadz Othman Shihab,
Ustadz Agus Abubakar, Ustadz Husein Shahab, Ustadz Zein Alhadi, dan
banyak lagi ustadz-ustadz Syiah yang tidak perlu saya sebutkan satu persatu…”
(wawancara dengan SYIAR).
Rasil
sendiri dalam rangka menepis dugaan sebagian kalangan bahwa radio tersebut pro
syi’ah, menyebutkan sejumlah tokoh yang dianggapnya dapat meyakinkan umat bahwa
Rasil tidak pro syi’ah. Antara lain disebutkan Habib RS dan Jose Rizal Mer-C,
sebagai narasumber mereka. Upaya itu jelas sia-sia. Karena, umat sudah sejak
lama menduga kedua tokoh tadi cenderung kepada syi’ah. Jadi, penyebutan
nama-nama tadi hanya memperkuat dugaan umat bahwa Rasil memang benar-benar
pro syi’ah.
Adanya
dugaan sebagian kalangan terhadap Habib RS yang dikatakan cenderung kepada
syi’ah, sudah ada sejak beberapa tahun belakangan. Bahkan, dugaan itu sudah
muncul sejak 1998, ketika Habib RS namanya mencuat ke angkasa tinggi berkat
kiprahnya yang melaksanakan ‘amar ma’ruf nahimunkar.
Pada tahun
2010, di situs resmi FPI, pernah dipublikasikan penjelasan bahwa FPI adalah
organisasi amar ma’ruf nahimunkar yang berasaskan Islam dan ber-aqidah
ahlussunnah wal jama’ah serta bermadzhab fiqih Syafi’i, bukan syi’ah atau wahabi.
Dalam
pandangan FPI, syi’ah ada tiga golongan, yaitu Ghulat, Rafidhoh, dan
Mu’tadilah. Menurut FPI, syi’ah Ghulat tergolong kafir dan wajib diperangi.
Karena, keyakinannya sudah menyimpang dari ushuluddin yang disepakati semua
madzhab Islam. Misalnya, menjadikan Ali bin Abi Thalib RA sebagai nabi, bahkan
Tuhan. Juga, meyakini bahwa Al-Qur’an sudah dirubah-ditambah-dikurangi
(Tahrif).
Sedangkan
syi’ah Rafidhoh, menurut FPI, meski tidak mempunyai keyakinan yang sama dengan
syi’ah Ghulat, namun golongan ini cenderung melakukan penghinaan, penistaan,
pelecehan secara terbuka baik lisan atau pun tulisan terhadap para Sahabat Nabi
SAW seperti Abu Bakar RA dan Umar RA atau terhadap para isteri Nabi SAW seperti
‘Aisyah RA dan Hafshah RA. Syi’ah golongan ini menurut FPI hanya diberi label
sesat (bukan kafir), namun wajib dilawan dan diluruskan.
Golongan
syi’ah yang ketiga, menurut FPI, adalah syi’ah mu’tadilah yang hanya
mengutamakan Ali bin Abi Thalib ra di atas para Shahabat Nabi lainnya (Abu
Bakar ra, Umar Ibnul Khattab ra, Utsman bin Affan ra), dan lebih mengedepankan
hadits riwayat ahlul bait daripada perawi hadits lainnya. Meski begitu,
golongan syi’ah ketiga ini tidak segan-segan mengajukan kritik terhadap
sejumlah sahabat secara ilmiah dan elegan, begitu menurut FPI. Nah, syi’ah
mu’tadilah inilah yang disebut sebagai salah satu madzhab dalam Islam (madzhab
Ja’afari) yang konon juga diakui eksistensinya oleh Prof. DR. Yusuf Qardhawi.
Kelompok syi’ah ini menurut FPI sebaiknya dihadapi dengan da’wah dan dialog,
bukan dimusuhi.
Bila dari
penjelasan FPI soal syi’ah yang begitu akomodatif, kemudian ada sekelompok
orang yang membanding-bandingkannya dengan sikap FPI terhadap Ahmadiyah,
kemudian mereka merasakan adanya standard ganda yang diterapkan FPI di
dalam menyikapi kedua paham sesat tadi, maka jangan heran dari situ lahir
cibiran atau tudingan bahwa FPI tebang pilih.
Penggolongan
syi’ah sebagaimana teruraikan di atas, (disengaja ataupun tidak) justru
menguntungkan penjaja paham sesat syi’ah. Karena, dua golongan di atas (Ghulat
dan Rafidhoh) bisa saja mengaku-ngaku sebagai syi’ah mu’tadilah. Apalagi di
dalam keimanan syi’ah konsep taqiyah merupakan ibadah. Akibatnya, umat Islam
bakalan dikibulin terus oleh syi’ah jika tanpa waspada mau menerima syi’ah
mu’tadilah (madzahab Ja’fari, menurut pembagian bikinan ini) sebagai bagian
dari Islam.
Buktinya,
Jalaluddin Rakhmat yang mengaku bukan syi’ah tetapi Su-Syi, dan merupakan tokoh
utama Ijabi (ahlul bait), ternyata dalam pemahaman dan sikapnya tak bisa
melepaskan diri dari berkeyakinan Ghulat dan bersikap Rafidhah. Hingga buku
karangan Jalaluddin Rakhmat pun dilarang
di Malaysia, yakni berjudul “Tafsir Sufi Al-fatihah Mukadimah” terbitan PT
remaja Rosdakarya, Bandung. (Tiga Buku Syiah Terbitan Indonesia Dilarang di
Malaysia, 20 March 2012 | Filed under: Aliran Sesat,Dunia Islam,Featured,Syi’ah
| Posted by: nahimunkar.com
http://nahimunkar.com/11729/tiga-buku-syiah-terbitan-indonesia-dilarang-di-malaysia/)
Penjelasan
dan penggolongan syi’ah sebagaimana tersebut di atas hanya memperkuat dugaan
bahwa Habib RS memang cenderung kepada syi’ah. Kesesatan syi’ah yang sedemikian
dahsyatnya masih bisa ia tolerir, sementara itu, kesesatan Ahmadiyah dan
lain-lainnya (yang menurut pemahaman umat Islam sebanding dengan kesesatan
syi’ah) disikapi begitu gegap gempita. (Ini sama sekali bukan karena membela
Ahmadiyah dan lainnya, tetapi untuk membandingkan saja. Di samping sikap yang
tebang pilih dalam menghadapi aliran sesat, masih pula perlu dipertahnyakan:
Mana mungkin orang yang tidak cenderung kepada kesesatan (syiah) berkarib-karib
dengan pentolan-pentolan syiah. Dari situ saja sebenarnya sudah jelas dan
terang).
Penggolongan
syi’ah tersebut di atas bagi sebagian kalangan justru akan ditafsirkan sebagai
strategi dagang para penjaja paham sesat syi’ah. Mula-mula ditawarkan syi’ah
yang mu’tadilah. Kelak kalau sudah berhasil, dinaikkan peringkatnya untuk
menerima Rafidhoh. Terus ditingkatkan lagi hingga bisa menerima Ghulat. Dan
bagaimanapun, syiah yang di sini jelas-jelas dari Iran yang di sana para ulama
sunni (ahlus sunnah) dibunuhi, masjid-masjidnya dihancurkan dan
madrasah-madrasahnya ditutup. KH Athian Ali da’I dari Bandung yang pernah ke
Iran mengatakan, pihak kedutaan Indonesia di Teheran mau mengadakan shalat
Jum’at saja dihalang-halangi di sana. Hingga hanya dapat dilaksanakan sekitar
20-an orang di dalam kedutaan itu, karena memang dihalangi.
Lagi pula,
bila syi’ah (mu’tadilah) itu sama saja dengan Islam, mengapa mereka harus
mengutamakan Ali bin Abi Thalib ra dibanding Khulafaur Rasyidin lainnya?
Mengapa pula mereka lebih mengutamakan hadits riwayat ahlul bait ketimbang
perawi hadits lainnya. Lantas, yang mereka maksud dengan ahlul bait itu apakah
termasuk ‘Aisyah ra istri Rasulullah? Dalam pemahaman umat Islam yang belum
terkontaminasi paham sesat syi’ah laknatullah, ahlul bait adalah keluarga Nabi
Muhammad SAW, yang terdiri dari Nabi Muhammad itu sendiri, istri-istri beliau,
dan anak-anak beliau dan kerabat beliau. Istilah Ahlul Bait adalah istilah
syar’i dan bermakna istri dan kerabat dekat beliau dari keluarga Ali, keluarga
Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga Abbas yang merupakan keluarga bani Hasyim.
Berikut ini kutipan dari sebuah uraian
tentang Ahlul Bait.
SIAPAKAH
AHLUL BAIT ITU ?
Sebelum kita
membahas tentang Ahlul bait secara detail dan yang memusuhi meraka,
sepantasnyalah kita mengenal terlebih dahulu siapakah sebenarnya Ahlul bait itu
?
Secara
bahasa, kata الأَهْل berasal dari أَهْلاً وَ أُهُوْلاً أَهِلَ – يَأهَلُ = seperti أَهْلُ المْكَاَن berarti menghuni di suatu tempat [1] . أَهْلُ jamaknya adalah أَهْلُوْنَ وَ أَهْلاَتُ وَ أَهَاِلي misal أَهْلُ الإِسْلاَم artinya pemeluk islam, أَهْلُ مَكَّة artinya penduduk Mekah. أَهْلُ الْبَيْت berarti penghuni rumah [2]. Dan أَهْلُ بَيْتِ النَّبي artinya keluarga Nabi
yaitu para isrti, anak perempuan Nabi serta kerabatnya yaitu Ali dan
istrinya.[3]
Sedangkan
menurut istilah, para ulama Ahlus Sunnah telah sepakat tentang Ahlul Bait bahwa
mereka adalah keluarga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diharamkan
memakan shadaqah [4]. Mereka terdiri dari : keluarga Ali, keluarga Ja’far,
keluarga Aqil, keluarga Abbas [5], keluarga bani Harist bin Abdul Muthalib,
serta para istri beliau dan anak anak mereka.[6]
Memang ada
perselisihan, apakah para istri Nabi termasuk Ahlul Bait atau bukan ? Dan yang
jelas bahwa arti Ahlu menurut bahasa (etimologi) tidak mengeluarkan para istri
nabi untuk masuk ke Ahlul Bait, demikian juga penggunaan kata Ahlu di dalam Al-Qur’an
dan hadits tidak mengeluarkan mereka dari lingkup istilah tersebut, yaitu Ahlul
Bait.
Allah
berfirman :
وَأَطِعْنَ اللهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا
يُرِيدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
Dan taatlah
kalian kepada Allah dan rasulNya,sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan
rijs dari kalian wahai ahlul bait dan memberbersihkan kalian
sebersih-bersihnya. [Al-ahzab : 33]
Ayat ini
menunjukan para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk Ahlul Bait. Jika
tidak, maka tak ada faidahnya mereka disebutkan dalam ucapan itu (ayat ini) dan
karena semua istri Nabi adalah termasuk Ahlul Bait sesuai dengan nash Al Quran
maka mereka mempunyai hak yang sama dengan hak-hak Ahlul Bait yang lain. [7]
Berkata Ibnu
Katsir: “Orang yang memahami Al Quran tidak ragu lagi bahwa para istri Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke dalam Ahlul Bait [8]” dan ini merupakan
pendapat Imam Al-Qurtuby, Ibnu Hajar, Ibnu Qayim dan yang lainnya. [9]
Ibnu
Taimiyah berkata: “Yang benar (dalam masalah ini) bahwa para istri Nabi adalah
termasuk Alul Bait. Karena telah ada dalam hadits yang diriwayatkan di
shahihaini yang menjelaskan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari
lafadz bershalawat kepadanya dengan:
الَلَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ أَزْوَاجِهِ
وَ ذُرِّيَتِهِ (صحيح البخارى)
Ya Allah
berilah keselamatan atas muhammad dan istri-istrinya serta anak keturunannya.
[Diriwayatkan Imam Bukhari]
Demikian
juga istri Nabi Ibrahim adalah termasuk keluarganya (Ahlu Baitnya) dan istri
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Luth juga termasuk keluarganya sebagaimana
yang telah di tunjukkan oleh Al Quran. Maka bagaimana istri Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam [2] bukan termasuk keluarga beliau ? !
Ada pula
sebagian ulama yang berpendapat bahwa keluarga Nabi adalah para pengikutnya dan
orang-orang yang bertaqwa dari umatnya, akan tetapi pendapat ini adalah
pendapat yang lemah dan telah di bantah oleh Imam Ibnu Qoyyim dengan pernyataan
beliau bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyatakan bahwa
Ahlul Bait adalah mereka yang di haramkan shadaqah.
PERBEDAAN
AHLUL BAIT DALAM ISTILAH SYAR’I DENGAN VERSI SYIAH ?
Setelah kita
mengetahui siapa sebenarnya Ahlul Bait itu, perlu kita pahami bahwa istilah
Ahlu Bait merupakan istilah syar’i yang dipakai dalam Al Quran maupun As Sunnah
dan bukan merupakan istilah bid’ah. Allah berfirman tentang para istri Nabi :
وَأَطِعْنَ اللهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا
يُرِيدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
Dan taaitlah
kalian kepada Allah dan RasulNya, sesungguhnya Allah bermaksud hendak
menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan memberbersihkan kamu
sebersih-bersihnya. [Al-Ahzab : 33]
Berkata
syaikh Abdurrahman As Sa’di : Makna rijs adalah (Ahlul bait di jauhkan) segala
macam gangguan, kejelekan dan perbutan keji.[13]
Allah
berfirman memerintah para istri Nabi :
وَاذْكُرْنَ مَايُتْلَى فِي بُيُوتِكُنَّ
مِنْ ءَايَاتِ اللهِ وَالْحِكْمَةِ
Dan ingatlah
apa yang di bacakan di rumahmu dari ayat Allah dan hikmah (Sunnah Nabimu). [Al
Ahzab : 34]
Ibnu Katsir
berkata: “yaitu kerjakanlah dengan apa yang di turunkan oleh Allah Subhanahu wa
Ta’ala kepada Rasulnya berupa Al Quran dan As sunnah di rumah-rumah kalian.
Berkata
Qotadah dan yang lainnya “dan ingatlah dengan nikmat yang di khususkan kepada
kalian dari sekalian manusia yaitu berupa wahyu yang turun ke rumah-rumah
kalian tanpa yang lain. [14]
Dalam sebuah
hadis juga di jelaskan :
عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ قاَلَ قاَمَ
رَسُوْلُ اللهِ صلىالله عليه و سلم يَوْمًا خَطِيْبًا (فَقَالَ): أَذْكُرُكُمُ اللهَ
فيِ أَهْلِ بَيْتيِ –ثلاثا- فَقَالَ حُصَيْنُ بْنُ سَبْرَةَ وَمَنْ أَهْلُ بَيْتِهِ
يَا زَْيدُ أَلَيْسَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ قَالَ: إِنَّ نِسَاءَهُ مِنْ أَهْلِ
بَيْتِهِ وَلَكِنْ أَهْلُ بَيْتِهِ مَنْ حَرُمَ الصَّدَقَةَ بَعْدَهُ قاَلَ وَمَنْ
هُمْ قَالَ هُمْ آَلُ عَلِيْ و آَلُ عُقَيْلٍ وَ آلُ الْعَبَاسِ قَالَ أَكُلُّ هَؤُلاَءِ
حَرُمَ الصَّدَقَة ؟ قَالَ: نَعَمْ (صحيح مسلم 7/122-123)
Dari Zaid
bin Arqom bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu hari berkhutbah:
Aku ingatkan kalian kepada Allah tentang Ahlul Baitku (sampai tiga kali) maka
Husain bin Sibroh (perawi hadits) bertanya kepada Zaid “Siapakah Ahlul Bait
beliau wahai Zaid bukankah istri-istri beliau termasuk ahlil baitnya? Zaid
menjawab para istri Nabi memang termasuk Ahlul Bait akan tetapi yang di maksud
di sini, orang yang di haramkan sedekah setelah wafatnya beliau. Lalu Husain
berkata: siapakah mereka, beliau menjawab: “Mereka adalah keluarga Ali,
keluarga Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga Abbas. Husain bertanya kembali Apakah mereka
semuanya di haramkan zakat ? Zaid menjawab Ya… [Shahih muslim 7/122-123]
Dari sini
jelas penggunaan istilah Ahlul Bait adalah istilah syar’i dan bermakna istri
dan kerabat dekat beliau dari keluarga Ali, keluarga Aqil, keluarga Ja’far, dan
keluarga Abbas yang merupakan keluarga bani Hasyim
Sedangkan
Ahlul Bait menurut orang Syiah hanyalah sahabat Ali, kemudian anaknya,
Hasan-Husein bin Ali dan putrinya yaitu Fatimah, mereka dengan terang-terangan
mengatakan bahwa semua pemimpin kaum muslimin selain Ali dan Hasan adalah
thogut walaupun mereka menyeru kepada kebenaran. Orang Syiah menganggap bahwa
Khulafaur rasyidin adalah para perampas kekuasaan Ahlul Bait sehingga mereka
mengkafirkan semua Khalifah, bahkan semua pemimpin kaum muslimin [15]. Tidak di
ragukan lagi, bahwa mereka telah menyimpang dari Aqidah yang lurus, yaitu
Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah.
Maka kita
katakan bahwa membatasi Ahlul bait itu hanya terbatas pada Ali, Hasan- Husein
bin Ali serta Fatimah, yang keduanya adalah anak Sahabat Ali adalah merupakan
batasan yang tidak ada sandaran yang benar baik dari Al-Quran maupun As sunnah.
Sesungguhnya pembatasan ini adalah merupakan perkara bid’ah yang tidak di kenal
oleh ulama salaf sebelumnya.
Anggapan ini
sebenarnya hanyalah muncul dari hawa nafsu orang-orang Syiah karena dendam
kesumat serta kedengkian mereka terhadap Islam dan Ahlul Bait Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga orang- orang Syiah sejak zaman sahabat
tidak menginginkan kejayaan Islam dam kaum muslimin, dan di kenal sebagai
firqoh yang ingin merongrong Islam dan ingin menghancurkannya dengan segala
cara dan salah satu cara mereka adalah berlindung di balik slogan cinta ahli
bait Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam walaupun secara hakikat
sebenarnya merekalah yang membenci dan memusuhi mereka.[i]
***
Indikasi
lain yang menunjukkan bahwa Habib RS cenderung kepada syi’ah bisa ditemukan
dari pernyataan dia ketika diwawancarai oleh Islam Alternatif: “…antum perlu
tahu bahwa Imam Syafi’i ra dulu saking cintanya kepada Ahlilbayt dituduh
Rafidhi, lalu apa jawaban Imam Syafi’i: ‘Jika mencintai keluarga Muhammad
adalah Rafidhi (Syiah), maka saksikanlah wahai ats-Tsaqolaan (jin dan manusia)
bahwa aku adalah Rofidhi’…”
Menangapi
hal itu, perlu diketahui, penggalan kalimat di atas (‘Jika mencintai keluarga
Muhammad adalah Rafidhi (Syiah), maka saksikanlah wahai ats-Tsaqolaan (jin dan
manusia) bahwa aku adalah Rofidhi’) sering digunakan kalangan penganut syi’ah
untuk meyakinkan umat Islam bahwa Imam As-Syafi’i rahmatullahi ‘alaihi saja,
berpaham syi’ah rafidhoh. Sedang oleh orang yang cenderung syiah dan
berkarib-karib dengan para pentolan syiah namun dirinya tidak mengaku syiah,
kalimat itu dimaksudkan sebagai tameng di depan kaum ahlus sunnah apalagi
syafi’iyyah. Jadi agar kedekatannya dengan syiah tidak dianggap apa-apa.
Itu
sebagaimana perkataan orang khawarij Haruriyah yang mengatakan laa hukma illaa
lillaah, tiada hukum kecuali bagi Allah, lalu diucapi oleh Ali bin Abi Thalib:
kalimatu haqqin uriida bihaa bathilun (perkataan benar tetapi yang dimaksudkan
dengannya adalah kebatilan).[ii]
Kenapa
ucapan Imam syafi’I ketika dikutip oleh orang itu kemudian dikomentarai seperti
ini? Ya tidak lain karena sikapnya yang tebang pilih terhadap aliran sesat, dan
akrabnya dengan para pentolan syiah itu tadi, bahkan memasukkan apa yang dia
sebut mazhab Ja’fari (padahal dikatakannya di Iran), syiah digolongkan sebagai
mazhab belaka sebagaimana mazhab hanafi, maliki, Sya;fi’I, dan Hanbali. Padahal
dalam aqidah maupun pelaksanaan nyata, syiah Iran walau dia sebut Ja’fari,
sebegitu dendamnya terhadap Islam. Hingga Abu Lu’lu’ah orang majusi yang
membunuh Khalifah Umar bin Khatthab ra justru oleh syiah Iran dijuluki Baba
Syuja’uddin (bapak pahlawan agama yang pemberani) yang julukan itu ditulis
jelas di pintu gerbang kuburannya, dan kuburannya itu dikeramatkan di sana.
Jadi dengan
berbagai indikasi itu maka tepatlah perkataan Ali bin Abi Thalib: kalimatu
haqqin uriida bihaa bathilun di sini disematkan kepada pengutip perkataan Imam
Syafi’I tersebut.
Bagaimana
Sebenarnya syair Imam Syafi’I itu?
Penggalan
kalimat itu, merupakan penggalan syair Imam As-Syafi’i rahmatullahi ‘alaihi
yang persisnya sebagai berikut:
إن كان رفضاً حبُّ آلِ محمدٍ … فليشهدِ
الثقلانِ أَني رافضي
Jika benar
Syi’ah Rafidhah itu adalah cinta keluarga Muhammad…
maka
hendaklah jin dan manusia bersaksi bahwa aku adalah orang Syi’ah Rafidhoh.
Kalangan
syi’ah (rafidhoh) menyangka bahwa Imam As-Syafi’i mendukung mereka, padahal
syair itu justru merupakan ledekan Imam As-Syafi’i rahmatullahi ‘alaihi kepada
kalangan syi’ah yang suka berdusta dan tidak benar-benar mencintai keluarga
Muhammad SAW.
Sejatinya,
gaya bahasa dengan menggunakan untaian kata “jika benar” (إن كان) merupakan penolakan bukan kesaksian,
antara lain sebagaimana bisa dilihat pada QS Az-Zukhruf ayat 81:
قُلْ إِنْ كَانَ لِلرَّحْمَنِ وَلَدٌ فَأَنَا
أَوَّلُ الْعَابِدِينَ(81)
Katakanlah,
jika benar Tuhan Yang Maha Pemurah mempunyai anak, maka akulah (Muhammad) orang
yang mula-mula memuliakan (anak itu).
Gaya bahasa
seperti itulah yang digunakan dalam syair Imam As-Syafi’i rahmatullahi ‘alaihi.
Dalam surat Az-Zukhruf ayat 81 di atas, untaian kata “jika benar” digunakan
untuk menunjukkan bahwa Tuhan Yang Maha Pemurah itu justru tidak mempunyai
anak. Begitu juga dengan untaian kata pada syair Imam As-Syafi’i rahmatullahi
‘alaihi, justru untuk menunjukkan bahwa syi’ah (rafidhoh) tidak benar-benar
mencintai keluarga Muhammad SAW. (lihat tulisan berjudul Ente Syi’ah? di
nahimunkar.com http://nahimunkar.com/71/ente-syi%E2%80%99ah/)
Selama ini
umat Islam memang serba salah menyikapi sosok Habib RS yang sudah terlanjur
diposisikan sebagai pembela Islam. Seolah-olah bila berhadapan dengan
Habib RS, sama dengan melawan pembela Islam. Padahal, Habib RS hanyalah manusia
biasa yang bisa salah, bukan hanya kesalahan ‘teknis’ menerapkan standard ganda
untuk kasus kejahatan seksual dan sebagainya, tetapi boleh jadi kesalahan itu
menghunjam ke jantung akidah. Ini perlu diluruskan. Sesungguhnya, mereka yang
TAKUT kepada ALLAH tidak akan pernah takut kepada MANUSIA. Sedangkan mereka
yang masih TAKUT kepada MANUSIA, boleh jadi bila menggantikan ketakutannya
kepada Allah maka dikhawatirkan jurusannya mengarah ke dalam lembah
kemusyrikan. Apalagi manusia saja manusia syiah Iran yang dendam pada Islam.
Na’udzubillahi min dzalik!
(haji/tede/nahimunkar.com)
***
________________________________________
[i] Oleh
Ahmad Hamidin As-Sidawy
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun V/1422H/2001M Diterbitkan Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183
Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Lihat
kamus mu’jamul wasit hal : 31.
[2]. Lihat
kamus lisanul arab 1/253.
[3]. Lihat
kamus muhit : 1245
[4]. Sebagaimana
di riwayatkan oleh imam muslim dari zaid bin arqom ketika hushain bin sibrah
bertanya kepadanya tentang Ahlul bait Nabi Shalal (lihat shahih muslim
7/122-223)
[5]. Lihat
kitab taqrib baina Ahlus sunnah was syiah oleh Dr. Nashir bin Abdillah bin Ali
Al-qafary 1/102 dan syarah Aqidah washitiyah oleh kholid bin Abdillah Al-
muslikh hal. 189.Majmu’ fatawa 28/492
[6]. Lihat
minhajus sunnah An-nabawiyah 7/395
[7]. Lihat
majmu fatawa 17/506.
[8]. Lihat
tafsir Al Qur ‘an Al-Adzim 3/506
[9]. Seperti
di nukil oleh Dr. nashir bin Abdillah bin Ali Al-qofari dalam kitabnya masalatu
taqrib bainas sunnah wa syiah.1/ 103-105.
[10] Lihat
syarah fathhul bari 6/408
[11],Lihat
Syarah Aqidah wasyityah oleh syeikh kholid bin Abdillah Al-muslikh hal : 190.
[12]. Lihat
jala’ Al-afham hal : 126
[13]. Lihat
tafsir karimir rahman .2/916
[14]. Lihat
tafsir Al Quran Al-Adzim 3/635.
[15]. Lihat
Ushul madhab Syiah karya Dr. nahir bin Abdillah bin Ali Al-qafary : 1/735-758
مجموع الفتاوى – (ج 28 / ص 495)
وَفِي مُسْلِمٍ أَيْضًا ” عَنْ عُبَيدِ
اللَّهِ بْنِ أَبِي رَافِعٍ كَاتِبِ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ الحرورية
لَمَّا خَرَجَتْ وَهُوَ مَعَ عَلِيٍّ قَالُوا : لَا حُكْمَ إلَّا لِلَّهِ . فَقَالَ
عَلِيٌّ : كَلِمَةُ حَقٍّ أُرِيدَ بِهَا بَاطِلٌ
Nahi Mungkar…..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar