
Tampilkan postingan dengan label Fiqih. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fiqih. Tampilkan semua postingan
Minggu, 16 September 2012
Hukum Menikah Lewat Internet

Selasa, 11 September 2012
WANITA MAU MENIKAH DENGAN SYARAT IA BOLEH TETAP MENGAJAR
Pertanyaan :
Syaikh
Abdul Aziz bin Baz ditanya : "Seorang wanita mau menikah dengan syarat ia
boleh tetap mengajar dan calon suaminya menerima syarat tersebut, setelah
terjadi kesepakatan wanita tersebut mau menikah. Apakah sang suami tetap wajib
memberi nafkah kepadanya dan kepada anak-anaknya sementara wanita tersebut
pegawai negeri?. Dan apakah boleh ia (suami) mengambil gaji istrinya tanpa
mendapat persetujuannya?. Dan jika wanita itu seorang yang beragama dan tidak
mau mendegarkan musik tetapi suami dan kelurga suami memakasanya dengan
mengatakan : "Sesungguhnya orang yang tidak suka mendengarkan musik
hatinya gundah." Apakah istri tersebut harus tetap tinggal bersama
suaminya dalam keadaan seperti itu?"
Rabu, 25 Januari 2012
Batalkah Seorang Wanita Yang Membersihkan (Memandikan Bayinya)
Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Jika seorang wanita telah bersuci lalu memandikan anaknya, apakah diwajibkan baginya untuk mengulang wudhunya ?
Jawaban:
Jika seorang wanita memandikan anak perempuannya atau anak laki-lakinya dan menyentuh kemaluan anaknya itu, maka tidak wajib bagi wanita itu untuk mengulang wudhunya, akan tetapi cukup baginya untuk mencuci kedua tangannya saja, karena memegang kemaluannya tanpa syahwat tidak membatalkan wudhu, dan sudah dapat diketahui bahwa wanita yang memandikan anak-anaknya tidak terdetik gejolak syahwat dalam hatinya, dan jika ia memandikan putra atau putrinya maka cukup baginya untuk mencuci kedua tangannya itu, untuk membersihkan najis yang mengenai dirinya tanpa harus berwudhu lagi.
[Fatawa wa Rasa'il Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 4/203]
Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq hal. 15 penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin
Rabu, 04 Januari 2012
Syarat-syarat Mutaba’ah
Syaikh 'Utsaimin melanjutkan, “Perlu diketahui bahwa mutaba’ah tidak akan dapat tercapai kecuali apabila amal yang dikerjakan sesuai dengan syari'at dalam enam perkara:
1. Sebab, yakni jika seseorang melakukan ibadah kepada Allah dengan sebab yang tidak disyari'atkan, maka ibadah tersebut adalah bid’ah dan mardud (tertolak). Contoh : seseorang yang melakukan sholat tahajjud pada malam 27 Rajab, dengan alasan bahwa malam tersebut adalah malam mi’raj Rasulullah, adalah bid’ah, dikarenakan sholat tahajjudnya dikaitkan dengan sebab yang tidak ditetapkan dengan syari'at, walaupun sholat tahajjud itu sendiri adalah sunnah. Namun karena dikaitkan dengan sebab yang tidak syar'i, sholatnya menjadi bid’ah.
2. Jenis, yakni ibadah harus sesuai dengan syari'at dalam jenisnya, jika tidak maka termasuk bid’ah. Contoh : seseorang menyembelih kuda untuk kurban adalah tidak sah, karena menyelisihi syari'at dalam ketentuan jenis hewan kurban, yang disyari'atkan hanyalah unta, sapi dan kambing.
3. Kadar (bilangan), yakni ibadah harus sesuai dengan bilangan/kadarnya, jika menyelisihinya maka termasuk bid’ah. Contoh : seseorang sholat dhuhur 5 rakaat, dengan menambah bilangan sholat tersebut, hal ini tidak syak lagi termasuk bid’ah yang nyata.
4. Kaifiyat (cara), seandainya seseorang berwudhu dengan cara membasuh kaki terlebih dahulu kemudian tangan, maka tidak sah wudhunya, karena menyelisihi kaifiyat wudhu’.
5. Waktu, yaitu seandainya ada orang yang menyembelih binatang kurban pada hari pertama bulan Dzulhijjah, maka tidak sah, karena waktunya tidak sebagaimana yang diperintahkan.
6. Tempat, seandainya seseorang beri’tikaf bukan di Masjid, maka tidak sah I’tikafnya, karena I’tikaf hanyalah disyari'atkan di masjid, tidak pada selainnya.
1. Sebab, yakni jika seseorang melakukan ibadah kepada Allah dengan sebab yang tidak disyari'atkan, maka ibadah tersebut adalah bid’ah dan mardud (tertolak). Contoh : seseorang yang melakukan sholat tahajjud pada malam 27 Rajab, dengan alasan bahwa malam tersebut adalah malam mi’raj Rasulullah, adalah bid’ah, dikarenakan sholat tahajjudnya dikaitkan dengan sebab yang tidak ditetapkan dengan syari'at, walaupun sholat tahajjud itu sendiri adalah sunnah. Namun karena dikaitkan dengan sebab yang tidak syar'i, sholatnya menjadi bid’ah.
2. Jenis, yakni ibadah harus sesuai dengan syari'at dalam jenisnya, jika tidak maka termasuk bid’ah. Contoh : seseorang menyembelih kuda untuk kurban adalah tidak sah, karena menyelisihi syari'at dalam ketentuan jenis hewan kurban, yang disyari'atkan hanyalah unta, sapi dan kambing.
3. Kadar (bilangan), yakni ibadah harus sesuai dengan bilangan/kadarnya, jika menyelisihinya maka termasuk bid’ah. Contoh : seseorang sholat dhuhur 5 rakaat, dengan menambah bilangan sholat tersebut, hal ini tidak syak lagi termasuk bid’ah yang nyata.
4. Kaifiyat (cara), seandainya seseorang berwudhu dengan cara membasuh kaki terlebih dahulu kemudian tangan, maka tidak sah wudhunya, karena menyelisihi kaifiyat wudhu’.
5. Waktu, yaitu seandainya ada orang yang menyembelih binatang kurban pada hari pertama bulan Dzulhijjah, maka tidak sah, karena waktunya tidak sebagaimana yang diperintahkan.
6. Tempat, seandainya seseorang beri’tikaf bukan di Masjid, maka tidak sah I’tikafnya, karena I’tikaf hanyalah disyari'atkan di masjid, tidak pada selainnya.
Senin, 02 Januari 2012
Hukum Nikah dalam Kondisi Hamil
Assalamu’alaikum…
Munculnya fonomena yang menyedihkan dikalangan muda-mudi kita hari ini, perihal perzinahan yang akhir-akhir ini sudah marak terjadi, hingga mengakibatkan kehamilan diluar nikah. Menimbulkan banyak pertanayaan di dalam benak saya tentang beberapa hal:
1. Bagaimanakah hukumnya pernikahan yang dilaksanakan ketika wanita yang dinikahi dalam keadaan hamil?
2. Bila sudah terlanjur menikah, apakah yang harus dilakukan? Apakah harus cerai dulu, kemudian menikah lagi atau langsung menikah lagi tanpa harus bercerai terlebih dahulu?
3. Dalam hal ini apakah masih diperlukan mas kawin (mahar)?
Mohon jawabannya. Jazakumullohu khoiron katsiron…
Hamba Alloh …
Jawaban
Wa’alaikumsalam warohmatullohi wabarokatuh…
Kami jawab pertanyaan ini dengan meminta pertolongan dari Allah Al-'Alim Al-Hakim, yang kami jabarkan sebagai berikut :
Perempuan yang dinikahi dalam keadaan hamil ada dua macam. Yang pertama, Perempuan yang diceraikan oleh suaminya dalam keadaan hamil. Dan yang kedua, Perempuan yang hamil karena melakukan zina sebagaimana yang banyak terjadi di zaman ini –Wal 'iyadzu billah- mudah-mudahan Allah menjaga kita dan seluruh kaum muslimin dari dosa terkutuk ini.
• Perempuan yang dicerai oleh suaminya dalam keadaan hamil
Adapun perempuan hamil yang diceraikan oleh suaminya, tidak boleh dinikahi sampai lepas 'iddah nya. Dan 'iddah-nya ialah sampai ia melahirkan sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala :
“Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu 'iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Ath-Tholaq: 4).
Dan hukum menikah dengan perempuan hamil seperti ini adalah haram dan nikahnya batil tidak sah sebagaimana dalam firman Allah Ta'ala :
“Dan janganlah kalian ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah sebelum habis 'iddahnya.” (QS. Al-Baqarah: 235).
Berkata Ibnu Katsir dalam tafsir-nya tentang makna ayat ini :
Yaitu jangan kalian melakukan akad nikah sampai lepas 'iddah-nya. Kemudian beliau berkata : Dan para 'ulama telah sepakat bahwa akad tidaklah sah pada masa 'iddah. (Lihat : Al-Mughny 11/227, Takmilah Al-Majmu' 17/347-348, Al-Muhalla 10/263 dan Zadul Ma'ad 5/156).
• Perempuan yang hamil karena zina
Perempuan yang telah melakukan zina menyebabkan dia hamil atau tidak, dalam hal bolehnya melakukan pernikahan dengannya terdapat persilangan pendapat dikalangan para 'ulama. Secara global para 'ulama berbeda pendapat dalam pensyaratan dua perkara untuk sahnya nikah dengan perempuan yang berzina.
Syarat yang pertama adalah Bertaubat dari perbuatan zinanya yang nista. Dan di dalam pensyaratan taubat ada dua pendapat dikalangan para 'ulama :
- Satu : Disyaratkan bertaubat. Dan ini merupakan madzhab Imam Ahmad dan pendapat Qatadah, Ishaq dan Abu 'Ubaid.
- Dua : Tidak disyaratkan taubat. Dan ini merupakan pendapat Imam Malik, Syafi'iy dan Abu Hanifah.
Tarjih
Yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang mengatakan disyaratkan untuk bertaubat. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/109 :
Menikahi perempuan pezina adalah haram sampai ia bertaubat, apakah yang menikahinya itu adalah yang menzinahinya atau selainnya. Inilah yang benar tanpa keraguan. Tarjih diatas berdasarkan firman Allah 'Azza Wa Jalla :
“Laki-laki yang berzina tidak menikahi melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik. Dan telah diharamkan hal tersebut atas kaum mu`minin.” (QS. An-Nur : 3).
Dan dalam hadits 'Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya 'Abdullah bin 'Amr bin 'Ash, beliau berkata :
‘Sesungguhnya Martsad bin Abi Martsad Al-Ghonawy membawa tawanan perang dari Makkah dan di Makkah ada seorang perempuan pelacur disebut dengan (nama) 'Anaq dan ia adalah teman (Martsad). (Martsad) berkata : Maka saya datang kepada Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam lalu saya berkata : Ya Rasulullah, Saya nikahi 'Anaq ?. Martsad berkata : Maka beliau diam, maka kemudian turunlah (ayat) : “Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik.” Kemudian beliau memanggilku lalu membacakannya padaku dan beliau bersabda, “Jangan kamu nikahi dia.”
(Hadits hasan, riwayat Abu Daud no. 2051, At-Tirmidzy no. 3177, An-Nasa`i 6/66 dan dalam Al-Kubra 3/269, Al-Hakim 2/180, Al-Baihaqy 7/153, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1745 dan disebutkan oleh Syeikh Muqbil rahimahullahu dalam Ash-Shohih Al-Musnad Min Asbabin Nuzul).
Ayat dan hadits ini tegas menunjukkan haram nikah dengan perempuan pezina. Namun hukum haram tersebut bila ia belum bertaubat. Adapun kalau ia telah bertaubat maka terhapuslah hukum haram nikah dengan perempuan pezina tersebut berdasarkan sabda Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam :
“Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak ada dosa baginya.” (Dihasankan oleh Syeikh Al-Albany dalam Adh-Dho'ifah 2/83 dari seluruh jalan-jalannya)
Adapun para 'ulama yang mengatakan bahwa kalimat 'nikah' dalam ayat An-Nur ini bermakna jima' atau yang mengatakan ayat ini mansukh (terhapus hukumnya) ini adalah pendapat yang jauh dan pendapat ini (yaitu yang mengatakan bermakna jima' atau mansukh) telah dibantah secara tuntas oleh Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/112-116. Dan pendapat yang mengatakan haram nikah dengan perempuan pezina sebelum bertaubat, ini pula yang dikuatkan Asy-Syinqithy dalam Adwa Al-Bayan 6/71-84 dan lihat Zadul Ma'ad 5/114-115.
Dan lihat permasalahan di atas dalam : Al-Ifshoh 8/81-84, Al-Mughny 9/562-563 (cet. Dar 'Alamil Kutub), dan Al-Jami' Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah 2/582-585.
Catatan :
Sebagian 'ulama berpendapat bahwa perlu diketahui kesungguhan taubat perempuan yang berzina ini dengan cara dirayu untuk berzina kalau ia menolak berarti taubatnya telah baik. Pendapat ini disebutkan oleh Al-Mardawy dalam Al-Inshof 8/133 diriwayatkan dari 'Umar dan Ibnu 'Abbas dan pendapat Imam Ahmad. Dan Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/125 kelihatan condong ke pendapat ini.
Tapi Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 9/564 berpendapat lain, beliau berkata : Tidak pantas bagi seorang muslim mengajak perempuan untuk berzina dan memintanya. Karena permintaannya ini pada saat berkhalwat (berduaan) dan tidak halal berkhalwat dengan Ajnabiyah (perempuan bukan mahram) walaupun untuk mengajarinya Al-Qur'an maka bagaimana (bisa) hal tersebut dihalalkan dalam merayunya untuk berzina ?.
Maka yang benar adalah ia bertaubat atas perbuatan zinanya sebagaimana ia bertaubat kalau melakukan dosa besar yang lainnya. Yaitu dengan lima syarat :
1. Ikhlash karena Allah.
2. Menyesali perbuatannya.
3. Meninggalkan dosa tersebut.
4. Ber'azam dengan sungguh-sungguh tidak akan mengulanginya.
5. Pada waktu yang masih bisa bertaubat seperti sebelum matahari terbit dari Barat dan sebelum ruh sampai ke tenggorokan.
Syarat Kedua adalah Telah lepas 'iddah. Para 'ulama berbeda pendapat apakah lepas 'iddah, apakah merupakan syarat bolehnya menikahi perempuan yang berzina atau tidak, ada dua pendapat :
- Pertama : Wajib 'iddah. Ini adalah pendapat Hasan Al-Bashry, An-Nakha'iy, Rabi'ah bin 'Abdurrahman, Imam Malik, Ats-Tsaury, Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahawaih.
- Kedua : Tidak wajib 'iddah. Ini adalah pendapat Imam Syafi'iy dan Abu Hanifah, tapi ada perbedaan antara mereka berdua pada satu hal, yaitu menurut Imam Syafi'iy boleh untuk melakukan akad nikah dengan perempuan yang berzina dan boleh ber-jima' dengannya setelah akad, apakah orang yang menikahinya itu adalah orang yang menzinahinya itu sendiri atau selainnya. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat boleh melakukan akad nikah dengannya dan boleh ber-jima' dengannya, apabila yang menikahinya adalah orang yang menzinahinya itu sendiri. Tapi kalau yang menikahinya selain orang yang menzinahinya maka boleh melakukan akad nikah tapi tidak boleh ber-jima' sampai istibro` (telah nampak kosongnya rahim dari janin) dengan satu kali haid atau sampai melahirkan kalau perempuan tersebut dalam keadaan hamil.
Tarjih
Dan yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang wajib 'iddah berdasarkan dalil-dalil berikut ini :
A. Hadits Abu Sa'id Al-Khudry radhiyallahu 'anhu, sesungguhnya Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda tentang tawanan perang Authos :
“Jangan dipergauli perempuan hamil sampai ia melahirkan dan jangan (pula) yang tidak hamil sampai ia telah haid satu kali.” (HR. Ahmad 3/62,87, Abu Daud no. 2157, Ad-Darimy 2/224 Al-Hakim 2/212, Al-Baihaqy 5/329, 7/449, Ath-Thobarany dalam Al-Ausath no. 1973 dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 307 dan di dalam sanadnya ada rowi yang bernama Syarik bin 'Abdullah An-Nakha'iy dan ia lemah karena hafalannya yang jelek tapi hadits ini mempunyai dukungan dari jalan yang lain dari beberapa orang shohabat sehingga dishohihkan dari seluruh jalan-jalannya oleh Syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 187).
B. Hadits Ruwaifi' bin Tsabit radhiyallahu 'anhu dari Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam, bahwasanya beliau bersabda :
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka jangan ia menyiramkan airnya ke tanaman orang lain.” (HR. Ahmad 4/108, Abu Daud no. 2158, At-Tirmidzi no. 1131, Al-Baihaqy 7/449, Ibnu Qoni' dalam Mu'jam Ash-Shohabah 1/217, Ibnu Sa'ad dalam Ath-Thobaqot 2/114-115, Ath-Thobarany 5/no.4482 dihasankan oleh Syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 2137).
C. Hadits Abu Ad-Darda` riwayat Muslim dari Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam : Beliau mendatangi seorang perempuan yang hampir melahirkan di pintu Pusthath. Beliau bersabda : Barangkali orang itu ingin menggaulinya ?. (Para sahabat) menjawab : Benar. Maka Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda : Sungguh saya telah berkehendak untuk melaknatnya dengan laknat yang dibawa ke kuburnya. Bagaimana ia mewarisinya sedangkan itu tidak halal baginya dan bagaimana ia memperbudakkannya sedang ia tidak halal baginya.
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah : Dalam (hadits) ini ada dalil yang sangat jelas akan haramnya menikahi perempuan hamil, apakah hamilnya itu karena suaminya, tuannya (kalau ia seorang budak-pent.), syubhat (yaitu nikah dengan orang yang haram ia nikahi karena tidak tahu atau karena ada kesamar-samaran-pent.) atau karena zina.
Nampaklah dari sini kuatnya pendapat yang mengatakan wajib 'iddah dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syinqithy, Syaikh Ibnu Baz dan Al-Lajnah Ad-Daimah (Lembaga Fatwa Saudi Arabia). Wallahu A'lam.
Catatan :
Nampak dari dalil-dalil yang disebutkan di atas bahwa perempuan hamil karena zina tidak boleh dinikahi sampai melahirkan, maka ini 'iddah bagi perempuan yang hamil karena zina dan ini juga ditunjukkan oleh keumuman firman Allah 'Azza Wa Jalla :
“Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu 'iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Ath-Tholaq : 4).
Adapun perempuan yang berzina dan belum nampak hamilnya, 'iddahnya diperselisihkan oleh para 'ulama yang mewajibkan 'iddah bagi perempuan yang berzina. Sebagian para 'ulama mengatakan bahwa 'iddahnya adalah istibro` dengan satu kali haid. Dan 'ulama yang lainnya berpendapat : tiga kali haid yaitu sama dengan 'iddah perempuan yang ditalak.
Dan yang dikuatkan oleh Imam Malik dan Ahmad dalam satu riwayat adalah cukup dengan istibro` dengan satu kali haid. Dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah berdasarkan hadits Abu Sa'id Al-Khudry di atas. Dan 'iddah dengan tiga kali haid hanya disebutkan dalam Al-Qur'an bagi perempuan yang ditalak (diceraikan) oleh suaminya sebagaimana dalam firman Allah Jalla Sya`nuhu :
”Dan wanita-wanita yang dithalaq (hendaknya) mereka menahan diri (menunggu) selama tiga kali quru`(haid).” (QS. Al-Baqarah : 228).
Kesimpulan Pembahasan :
1. Tidak boleh nikah dengan perempuan yang berzina kecuali dengan dua syarat yaitu, bila perempuan tersebut telah bertaubat dari perbuatan nistanya dan telah lepas 'iddah-nya.
2. Ketentuan perempuan yang berzina dianggap lepas 'iddah adalah sebagai berikut :
- kalau ia hamil, maka 'iddahnya adalah sampai melahirkan.
- kalau ia belum hamil, maka 'iddahnya adalah sampai ia telah haid satu kali semenjak melakukan perzinahan tersebut. Wallahu Ta'ala A'lam.
Lihat pembahasan di atas dalam : Al-Mughny 9/561-565, 11/196-197, Al-Ifshoh 8/81-84, Al-Inshof 8/132-133, Takmilah Al-Majmu' 17/348-349, Raudhah Ath-Tholibin 8/375, Bidayatul Mujtahid 2/40, Al-Fatawa 32/109-134, Zadul Ma'ad 5/104-105, 154-155, Adwa` Al-Bayan 6/71-84 dan Jami' Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah Lisyaikhil Islam Ibnu Taimiyah 2/582-585, 847-850.
3. Telah jelas dari jawaban di atas bahwa perempuan yang hamil, baik hamil karena pernikahan sah, syubhat atau karena zina, 'iddahnya adalah sampai melahirkan. Dan para 'ulama sepakat bahwa akad nikah pada masa 'iddah adalah akad yang batil lagi tidak sah. Dan kalau keduanya tetap melakukan akad nikah dan melakukan hubungan suami-istri setelah keduanya tahu haramnya melakukan akad pada masa 'iddah maka keduanya dianggap pezina dan keduanya harus diberi hadd (hukuman) sebagai pezina kalau negara mereka menerapkan hukum Islam, demikian keterangan Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 11/242.
Kalau ada yang bertanya : Setelah keduanya berpisah, apakah boleh keduanya kembali setelah lepas masa 'iddah??.
Maka Jawabannya adalah Ada perbedaan pendapat dikalangan para 'ulama. Jumhur (kebanyakan) 'ulama berpendapat bahwa Perempuan tersebut tidak diharamkan baginya bahkan boleh ia meminangnya setelah lepas 'iddah-nya.
Dan mereka diselisihi oleh Imam Malik, beliau berpendapat bahwa perempuan telah menjadi haram baginya untuk selama-lamanya. Dan beliau berdalilkan dengan atsar 'Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu yang menunjukkan hal tersebut.
Pendapat Imam Malik ini juga merupakan pendapat dulu dari Imam Syafi'iy tapi belakangan beliau berpendapat bolehnya menikah kembali setelah dipisahkan. Dan pendapat yang terakhir ini zhohir yang dikuatkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsir-nya dan beliau melemahkan atsar 'Umar yang menjadi dalil bagi Imam Malik bahkan Ibnu Katsir juga membawakan atsar yang serupa dari 'Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu yang menunjukkan bolehnya. Maka sebagai kesimpulan pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah boleh keduanya menikah kembali setelah lepas 'iddah. Wal 'Ilmu 'Indallah. Lihat : Tafsir Ibnu Katsir 1/355 (Darul Fikr).
4. Laki-laki dan perempuan hamil yang melakukan pernikahan dalam keadaan keduanya tahu tentang haramnya menikahi perempuan hamil kemudian mereka berdua tetap melakukan jima' maka keduanya dianggap berzina dan wajib atas hukum hadd kalau mereka berdua berada di negara yang diterapkan di dalamnya hukum Islam dan juga tidak ada mahar bagi perempuan tersebut. Adapun kalau keduanya tidak tahu tantang haramnya menikahi perempuan hamil maka ini dianggap nikah syubhat dan harus dipisahkan antara keduanya karena tidak sahnya nikah yang seperti ini sebagaimana yang telah diterangkan. Adapun mahar, si perempuan hamil ini berhak mendapatkan maharnya kalau memang belum ia ambil atau belum dilunasi.
Hal ini berdasarkan hadits 'Aisyah radhiyallahu 'anha, Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda :
“Perempuan mana saja yang nikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil, dan apabila ia telah masuk padanya (perempuan) maka baginya mahar dari dihalalkannya kemaluannya, dan apabila mereka berselisih maka penguasa adalah wali bagi yang tidak mempunyai wali.”
(HR. Syafi'iy sebagaimana dalam Munadnya 1/220,275, dan dalam Al-Umm 5/13,166, 7/171,222, 'Abdurrazzaq dalam Mushonnafnya 6/195, Ibnu Wahb sebagaimana dalam Al-Mudawwah Al-Kubra 4/166, Ahmad 6/47,66,165, Ishaq bin Rahawaih dalam Musnadnya 2/no. 698, Ibnu Abi Syaibah 3/454, 7/284, Al-Humaidy dalam Musnadnya 1/112, Ath-Thoyalisy dalam Musnadnya no. 1463, Abu Daud no. 2083, At-Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no. 1879, Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo no. 700, Sa'id bin Manshur dalam sunannya 1/175, Ad-Darimy 2/185, Ath-Thohawy dalam Syarah Ma'any Al-Atsar 3/7, Abu Ya'la dalam Musnadnya no. 4682,4750,4837, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 4074, Al-Hakim 2/182-183, Ad-Daruquthny 3/221, Al-Baihaqy 7/105,124,138, 10/148, Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah 6/88, As-Sahmy dalam Tarikh Al-Jurjan hal. 315, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1654 dan Ibnu 'Abbil Barr dalam At-Tamhid 19/85-87 dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Al-Irwa` no.1840).
5. Nikah tanpa wali hukumnya adalah batil tidak sah sebagaimana nikah di masa 'iddah hukumnya batil tidak sah. Karena itu kandungan hukum dalam hadits mencakup semuanya.
Demikian rincian Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim.
6. Adapun orang yang ingin meminang kembali perempuan hamil ini setelah ia melahirkan, maka kembali diwajibkan mahar atasnya berdasarkan keumuman firman Allah Ta'ala :
“Berikanlah kepada para perempuan (yang kalian nikahi) mahar mereka dengan penuh kerelaan.” (QS. An-Nisa` : 4).
Dan firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala :
“Berikanlah kepada mereka mahar mereka sebagai suatu kewajiban.” (QS.An-Nisa` : 24)
Dan banyak lagi dalil yang semakna dengannya. Wallahu A'lam.
Lihat : Al-Mughny 10/186-188, Shohih Al-Bukhary (Fathul Bary) 9/494, Al-Fatawa 32/198,200 dan Zadul Ma'ad 5/104-105.
Wallohu a’lam bi showab
Munculnya fonomena yang menyedihkan dikalangan muda-mudi kita hari ini, perihal perzinahan yang akhir-akhir ini sudah marak terjadi, hingga mengakibatkan kehamilan diluar nikah. Menimbulkan banyak pertanayaan di dalam benak saya tentang beberapa hal:
1. Bagaimanakah hukumnya pernikahan yang dilaksanakan ketika wanita yang dinikahi dalam keadaan hamil?
2. Bila sudah terlanjur menikah, apakah yang harus dilakukan? Apakah harus cerai dulu, kemudian menikah lagi atau langsung menikah lagi tanpa harus bercerai terlebih dahulu?
3. Dalam hal ini apakah masih diperlukan mas kawin (mahar)?
Mohon jawabannya. Jazakumullohu khoiron katsiron…
Hamba Alloh …
Jawaban
Wa’alaikumsalam warohmatullohi wabarokatuh…
Kami jawab pertanyaan ini dengan meminta pertolongan dari Allah Al-'Alim Al-Hakim, yang kami jabarkan sebagai berikut :
Perempuan yang dinikahi dalam keadaan hamil ada dua macam. Yang pertama, Perempuan yang diceraikan oleh suaminya dalam keadaan hamil. Dan yang kedua, Perempuan yang hamil karena melakukan zina sebagaimana yang banyak terjadi di zaman ini –Wal 'iyadzu billah- mudah-mudahan Allah menjaga kita dan seluruh kaum muslimin dari dosa terkutuk ini.
• Perempuan yang dicerai oleh suaminya dalam keadaan hamil
Adapun perempuan hamil yang diceraikan oleh suaminya, tidak boleh dinikahi sampai lepas 'iddah nya. Dan 'iddah-nya ialah sampai ia melahirkan sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala :
“Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu 'iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Ath-Tholaq: 4).
Dan hukum menikah dengan perempuan hamil seperti ini adalah haram dan nikahnya batil tidak sah sebagaimana dalam firman Allah Ta'ala :
“Dan janganlah kalian ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah sebelum habis 'iddahnya.” (QS. Al-Baqarah: 235).
Berkata Ibnu Katsir dalam tafsir-nya tentang makna ayat ini :
Yaitu jangan kalian melakukan akad nikah sampai lepas 'iddah-nya. Kemudian beliau berkata : Dan para 'ulama telah sepakat bahwa akad tidaklah sah pada masa 'iddah. (Lihat : Al-Mughny 11/227, Takmilah Al-Majmu' 17/347-348, Al-Muhalla 10/263 dan Zadul Ma'ad 5/156).
• Perempuan yang hamil karena zina
Perempuan yang telah melakukan zina menyebabkan dia hamil atau tidak, dalam hal bolehnya melakukan pernikahan dengannya terdapat persilangan pendapat dikalangan para 'ulama. Secara global para 'ulama berbeda pendapat dalam pensyaratan dua perkara untuk sahnya nikah dengan perempuan yang berzina.
Syarat yang pertama adalah Bertaubat dari perbuatan zinanya yang nista. Dan di dalam pensyaratan taubat ada dua pendapat dikalangan para 'ulama :
- Satu : Disyaratkan bertaubat. Dan ini merupakan madzhab Imam Ahmad dan pendapat Qatadah, Ishaq dan Abu 'Ubaid.
- Dua : Tidak disyaratkan taubat. Dan ini merupakan pendapat Imam Malik, Syafi'iy dan Abu Hanifah.
Tarjih
Yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang mengatakan disyaratkan untuk bertaubat. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/109 :
Menikahi perempuan pezina adalah haram sampai ia bertaubat, apakah yang menikahinya itu adalah yang menzinahinya atau selainnya. Inilah yang benar tanpa keraguan. Tarjih diatas berdasarkan firman Allah 'Azza Wa Jalla :
“Laki-laki yang berzina tidak menikahi melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik. Dan telah diharamkan hal tersebut atas kaum mu`minin.” (QS. An-Nur : 3).
Dan dalam hadits 'Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya 'Abdullah bin 'Amr bin 'Ash, beliau berkata :
‘Sesungguhnya Martsad bin Abi Martsad Al-Ghonawy membawa tawanan perang dari Makkah dan di Makkah ada seorang perempuan pelacur disebut dengan (nama) 'Anaq dan ia adalah teman (Martsad). (Martsad) berkata : Maka saya datang kepada Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam lalu saya berkata : Ya Rasulullah, Saya nikahi 'Anaq ?. Martsad berkata : Maka beliau diam, maka kemudian turunlah (ayat) : “Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik.” Kemudian beliau memanggilku lalu membacakannya padaku dan beliau bersabda, “Jangan kamu nikahi dia.”
(Hadits hasan, riwayat Abu Daud no. 2051, At-Tirmidzy no. 3177, An-Nasa`i 6/66 dan dalam Al-Kubra 3/269, Al-Hakim 2/180, Al-Baihaqy 7/153, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1745 dan disebutkan oleh Syeikh Muqbil rahimahullahu dalam Ash-Shohih Al-Musnad Min Asbabin Nuzul).
Ayat dan hadits ini tegas menunjukkan haram nikah dengan perempuan pezina. Namun hukum haram tersebut bila ia belum bertaubat. Adapun kalau ia telah bertaubat maka terhapuslah hukum haram nikah dengan perempuan pezina tersebut berdasarkan sabda Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam :
“Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak ada dosa baginya.” (Dihasankan oleh Syeikh Al-Albany dalam Adh-Dho'ifah 2/83 dari seluruh jalan-jalannya)
Adapun para 'ulama yang mengatakan bahwa kalimat 'nikah' dalam ayat An-Nur ini bermakna jima' atau yang mengatakan ayat ini mansukh (terhapus hukumnya) ini adalah pendapat yang jauh dan pendapat ini (yaitu yang mengatakan bermakna jima' atau mansukh) telah dibantah secara tuntas oleh Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/112-116. Dan pendapat yang mengatakan haram nikah dengan perempuan pezina sebelum bertaubat, ini pula yang dikuatkan Asy-Syinqithy dalam Adwa Al-Bayan 6/71-84 dan lihat Zadul Ma'ad 5/114-115.
Dan lihat permasalahan di atas dalam : Al-Ifshoh 8/81-84, Al-Mughny 9/562-563 (cet. Dar 'Alamil Kutub), dan Al-Jami' Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah 2/582-585.
Catatan :
Sebagian 'ulama berpendapat bahwa perlu diketahui kesungguhan taubat perempuan yang berzina ini dengan cara dirayu untuk berzina kalau ia menolak berarti taubatnya telah baik. Pendapat ini disebutkan oleh Al-Mardawy dalam Al-Inshof 8/133 diriwayatkan dari 'Umar dan Ibnu 'Abbas dan pendapat Imam Ahmad. Dan Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/125 kelihatan condong ke pendapat ini.
Tapi Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 9/564 berpendapat lain, beliau berkata : Tidak pantas bagi seorang muslim mengajak perempuan untuk berzina dan memintanya. Karena permintaannya ini pada saat berkhalwat (berduaan) dan tidak halal berkhalwat dengan Ajnabiyah (perempuan bukan mahram) walaupun untuk mengajarinya Al-Qur'an maka bagaimana (bisa) hal tersebut dihalalkan dalam merayunya untuk berzina ?.
Maka yang benar adalah ia bertaubat atas perbuatan zinanya sebagaimana ia bertaubat kalau melakukan dosa besar yang lainnya. Yaitu dengan lima syarat :
1. Ikhlash karena Allah.
2. Menyesali perbuatannya.
3. Meninggalkan dosa tersebut.
4. Ber'azam dengan sungguh-sungguh tidak akan mengulanginya.
5. Pada waktu yang masih bisa bertaubat seperti sebelum matahari terbit dari Barat dan sebelum ruh sampai ke tenggorokan.
Syarat Kedua adalah Telah lepas 'iddah. Para 'ulama berbeda pendapat apakah lepas 'iddah, apakah merupakan syarat bolehnya menikahi perempuan yang berzina atau tidak, ada dua pendapat :
- Pertama : Wajib 'iddah. Ini adalah pendapat Hasan Al-Bashry, An-Nakha'iy, Rabi'ah bin 'Abdurrahman, Imam Malik, Ats-Tsaury, Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahawaih.
- Kedua : Tidak wajib 'iddah. Ini adalah pendapat Imam Syafi'iy dan Abu Hanifah, tapi ada perbedaan antara mereka berdua pada satu hal, yaitu menurut Imam Syafi'iy boleh untuk melakukan akad nikah dengan perempuan yang berzina dan boleh ber-jima' dengannya setelah akad, apakah orang yang menikahinya itu adalah orang yang menzinahinya itu sendiri atau selainnya. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat boleh melakukan akad nikah dengannya dan boleh ber-jima' dengannya, apabila yang menikahinya adalah orang yang menzinahinya itu sendiri. Tapi kalau yang menikahinya selain orang yang menzinahinya maka boleh melakukan akad nikah tapi tidak boleh ber-jima' sampai istibro` (telah nampak kosongnya rahim dari janin) dengan satu kali haid atau sampai melahirkan kalau perempuan tersebut dalam keadaan hamil.
Tarjih
Dan yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang wajib 'iddah berdasarkan dalil-dalil berikut ini :
A. Hadits Abu Sa'id Al-Khudry radhiyallahu 'anhu, sesungguhnya Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda tentang tawanan perang Authos :
“Jangan dipergauli perempuan hamil sampai ia melahirkan dan jangan (pula) yang tidak hamil sampai ia telah haid satu kali.” (HR. Ahmad 3/62,87, Abu Daud no. 2157, Ad-Darimy 2/224 Al-Hakim 2/212, Al-Baihaqy 5/329, 7/449, Ath-Thobarany dalam Al-Ausath no. 1973 dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 307 dan di dalam sanadnya ada rowi yang bernama Syarik bin 'Abdullah An-Nakha'iy dan ia lemah karena hafalannya yang jelek tapi hadits ini mempunyai dukungan dari jalan yang lain dari beberapa orang shohabat sehingga dishohihkan dari seluruh jalan-jalannya oleh Syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 187).
B. Hadits Ruwaifi' bin Tsabit radhiyallahu 'anhu dari Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam, bahwasanya beliau bersabda :
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka jangan ia menyiramkan airnya ke tanaman orang lain.” (HR. Ahmad 4/108, Abu Daud no. 2158, At-Tirmidzi no. 1131, Al-Baihaqy 7/449, Ibnu Qoni' dalam Mu'jam Ash-Shohabah 1/217, Ibnu Sa'ad dalam Ath-Thobaqot 2/114-115, Ath-Thobarany 5/no.4482 dihasankan oleh Syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 2137).
C. Hadits Abu Ad-Darda` riwayat Muslim dari Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam : Beliau mendatangi seorang perempuan yang hampir melahirkan di pintu Pusthath. Beliau bersabda : Barangkali orang itu ingin menggaulinya ?. (Para sahabat) menjawab : Benar. Maka Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda : Sungguh saya telah berkehendak untuk melaknatnya dengan laknat yang dibawa ke kuburnya. Bagaimana ia mewarisinya sedangkan itu tidak halal baginya dan bagaimana ia memperbudakkannya sedang ia tidak halal baginya.
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah : Dalam (hadits) ini ada dalil yang sangat jelas akan haramnya menikahi perempuan hamil, apakah hamilnya itu karena suaminya, tuannya (kalau ia seorang budak-pent.), syubhat (yaitu nikah dengan orang yang haram ia nikahi karena tidak tahu atau karena ada kesamar-samaran-pent.) atau karena zina.
Nampaklah dari sini kuatnya pendapat yang mengatakan wajib 'iddah dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syinqithy, Syaikh Ibnu Baz dan Al-Lajnah Ad-Daimah (Lembaga Fatwa Saudi Arabia). Wallahu A'lam.
Catatan :
Nampak dari dalil-dalil yang disebutkan di atas bahwa perempuan hamil karena zina tidak boleh dinikahi sampai melahirkan, maka ini 'iddah bagi perempuan yang hamil karena zina dan ini juga ditunjukkan oleh keumuman firman Allah 'Azza Wa Jalla :
“Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu 'iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Ath-Tholaq : 4).
Adapun perempuan yang berzina dan belum nampak hamilnya, 'iddahnya diperselisihkan oleh para 'ulama yang mewajibkan 'iddah bagi perempuan yang berzina. Sebagian para 'ulama mengatakan bahwa 'iddahnya adalah istibro` dengan satu kali haid. Dan 'ulama yang lainnya berpendapat : tiga kali haid yaitu sama dengan 'iddah perempuan yang ditalak.
Dan yang dikuatkan oleh Imam Malik dan Ahmad dalam satu riwayat adalah cukup dengan istibro` dengan satu kali haid. Dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah berdasarkan hadits Abu Sa'id Al-Khudry di atas. Dan 'iddah dengan tiga kali haid hanya disebutkan dalam Al-Qur'an bagi perempuan yang ditalak (diceraikan) oleh suaminya sebagaimana dalam firman Allah Jalla Sya`nuhu :
”Dan wanita-wanita yang dithalaq (hendaknya) mereka menahan diri (menunggu) selama tiga kali quru`(haid).” (QS. Al-Baqarah : 228).
Kesimpulan Pembahasan :
1. Tidak boleh nikah dengan perempuan yang berzina kecuali dengan dua syarat yaitu, bila perempuan tersebut telah bertaubat dari perbuatan nistanya dan telah lepas 'iddah-nya.
2. Ketentuan perempuan yang berzina dianggap lepas 'iddah adalah sebagai berikut :
- kalau ia hamil, maka 'iddahnya adalah sampai melahirkan.
- kalau ia belum hamil, maka 'iddahnya adalah sampai ia telah haid satu kali semenjak melakukan perzinahan tersebut. Wallahu Ta'ala A'lam.
Lihat pembahasan di atas dalam : Al-Mughny 9/561-565, 11/196-197, Al-Ifshoh 8/81-84, Al-Inshof 8/132-133, Takmilah Al-Majmu' 17/348-349, Raudhah Ath-Tholibin 8/375, Bidayatul Mujtahid 2/40, Al-Fatawa 32/109-134, Zadul Ma'ad 5/104-105, 154-155, Adwa` Al-Bayan 6/71-84 dan Jami' Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah Lisyaikhil Islam Ibnu Taimiyah 2/582-585, 847-850.
3. Telah jelas dari jawaban di atas bahwa perempuan yang hamil, baik hamil karena pernikahan sah, syubhat atau karena zina, 'iddahnya adalah sampai melahirkan. Dan para 'ulama sepakat bahwa akad nikah pada masa 'iddah adalah akad yang batil lagi tidak sah. Dan kalau keduanya tetap melakukan akad nikah dan melakukan hubungan suami-istri setelah keduanya tahu haramnya melakukan akad pada masa 'iddah maka keduanya dianggap pezina dan keduanya harus diberi hadd (hukuman) sebagai pezina kalau negara mereka menerapkan hukum Islam, demikian keterangan Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 11/242.
Kalau ada yang bertanya : Setelah keduanya berpisah, apakah boleh keduanya kembali setelah lepas masa 'iddah??.
Maka Jawabannya adalah Ada perbedaan pendapat dikalangan para 'ulama. Jumhur (kebanyakan) 'ulama berpendapat bahwa Perempuan tersebut tidak diharamkan baginya bahkan boleh ia meminangnya setelah lepas 'iddah-nya.
Dan mereka diselisihi oleh Imam Malik, beliau berpendapat bahwa perempuan telah menjadi haram baginya untuk selama-lamanya. Dan beliau berdalilkan dengan atsar 'Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu yang menunjukkan hal tersebut.
Pendapat Imam Malik ini juga merupakan pendapat dulu dari Imam Syafi'iy tapi belakangan beliau berpendapat bolehnya menikah kembali setelah dipisahkan. Dan pendapat yang terakhir ini zhohir yang dikuatkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsir-nya dan beliau melemahkan atsar 'Umar yang menjadi dalil bagi Imam Malik bahkan Ibnu Katsir juga membawakan atsar yang serupa dari 'Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu yang menunjukkan bolehnya. Maka sebagai kesimpulan pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah boleh keduanya menikah kembali setelah lepas 'iddah. Wal 'Ilmu 'Indallah. Lihat : Tafsir Ibnu Katsir 1/355 (Darul Fikr).
4. Laki-laki dan perempuan hamil yang melakukan pernikahan dalam keadaan keduanya tahu tentang haramnya menikahi perempuan hamil kemudian mereka berdua tetap melakukan jima' maka keduanya dianggap berzina dan wajib atas hukum hadd kalau mereka berdua berada di negara yang diterapkan di dalamnya hukum Islam dan juga tidak ada mahar bagi perempuan tersebut. Adapun kalau keduanya tidak tahu tantang haramnya menikahi perempuan hamil maka ini dianggap nikah syubhat dan harus dipisahkan antara keduanya karena tidak sahnya nikah yang seperti ini sebagaimana yang telah diterangkan. Adapun mahar, si perempuan hamil ini berhak mendapatkan maharnya kalau memang belum ia ambil atau belum dilunasi.
Hal ini berdasarkan hadits 'Aisyah radhiyallahu 'anha, Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda :
“Perempuan mana saja yang nikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil, dan apabila ia telah masuk padanya (perempuan) maka baginya mahar dari dihalalkannya kemaluannya, dan apabila mereka berselisih maka penguasa adalah wali bagi yang tidak mempunyai wali.”
(HR. Syafi'iy sebagaimana dalam Munadnya 1/220,275, dan dalam Al-Umm 5/13,166, 7/171,222, 'Abdurrazzaq dalam Mushonnafnya 6/195, Ibnu Wahb sebagaimana dalam Al-Mudawwah Al-Kubra 4/166, Ahmad 6/47,66,165, Ishaq bin Rahawaih dalam Musnadnya 2/no. 698, Ibnu Abi Syaibah 3/454, 7/284, Al-Humaidy dalam Musnadnya 1/112, Ath-Thoyalisy dalam Musnadnya no. 1463, Abu Daud no. 2083, At-Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no. 1879, Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo no. 700, Sa'id bin Manshur dalam sunannya 1/175, Ad-Darimy 2/185, Ath-Thohawy dalam Syarah Ma'any Al-Atsar 3/7, Abu Ya'la dalam Musnadnya no. 4682,4750,4837, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 4074, Al-Hakim 2/182-183, Ad-Daruquthny 3/221, Al-Baihaqy 7/105,124,138, 10/148, Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah 6/88, As-Sahmy dalam Tarikh Al-Jurjan hal. 315, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1654 dan Ibnu 'Abbil Barr dalam At-Tamhid 19/85-87 dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Al-Irwa` no.1840).
5. Nikah tanpa wali hukumnya adalah batil tidak sah sebagaimana nikah di masa 'iddah hukumnya batil tidak sah. Karena itu kandungan hukum dalam hadits mencakup semuanya.
Demikian rincian Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim.
6. Adapun orang yang ingin meminang kembali perempuan hamil ini setelah ia melahirkan, maka kembali diwajibkan mahar atasnya berdasarkan keumuman firman Allah Ta'ala :
“Berikanlah kepada para perempuan (yang kalian nikahi) mahar mereka dengan penuh kerelaan.” (QS. An-Nisa` : 4).
Dan firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala :
“Berikanlah kepada mereka mahar mereka sebagai suatu kewajiban.” (QS.An-Nisa` : 24)
Dan banyak lagi dalil yang semakna dengannya. Wallahu A'lam.
Lihat : Al-Mughny 10/186-188, Shohih Al-Bukhary (Fathul Bary) 9/494, Al-Fatawa 32/198,200 dan Zadul Ma'ad 5/104-105.
Wallohu a’lam bi showab
Larangan bagi laki-laki dan perempuan melihat aurot sesama mereka
Dari Abu Said Al-Khudri Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda.
"Artinya : Tidak diperbolehkan bagi orang laki-laki melihat aurat laki-laki, dan wanita melihat aurat wanita. Dan tidak boleh seorang laki-laki dengan orang laki-laki lain dalam satu selimut, dan wanita dengan wanita lain dalam satu selimut". (Hadits Riwayat Muslim)
Imam Nawawi Rahimahullahu mengatakan:
"Dalam hadits tersebut terdapat larangan bagi orang laki-laki melihat aurat laki-laki lain, dan wanita melihat aurat wanita lain. Larangan ini sama sekali tidak dapat diganggu gugat".
Selanjutnya Imam Nawawi mengatakan : "Mengenai sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, 'Dan tidak boleh seorang laki-laki bergabung dengan orang laki-laki lain dalam satu selimut, dan wanita bergabung dengan wanita lain dalam satu selimut', merupakan larangan yang sifatnya haram apabila diantara keduanya tidak terdapat pemisah. Dan itu menunjukkan larangan penyentuhan aurat bagian tubuh mana pun, baik laki-laki maupun wanita. Hal itu telah menjadi kesepakatan para ulama. Banyak orang yang meremehkan masalah itu, di mana mereka banyak yang mandi dalam satu kamar mandi. Oleh karena itu, hendaknya setiap orang menjaga pandangan, tangan dan anggota tubuh lainnya dari aurat orang lain, serta memelihara auratnya jangan sampai dilihat dan disentuh oleh orang lain. Dan apabila melihat orang yang mengabaikan hal itu, maka hendaklah mereka menjauhi dan memperingatkannya.
Dalam hal ini penulis tambahkan, larangan ini juga mencakup tidurnya seorang wanita dengan wanita lain dalam satu tempat tidur tanpa busana sehingga mengakibatkan aurat masing-masing dari keduanya tersentuh atau terlihat. Dan hal itu termasuk perbuatan-perbuatan haram dan sekaligus merupakan awal dari tindakan cabul.
Batasan aurat yang harus ditutupi oleh wanita Muslimah bagi wanita Muslimah lainnya adalah dari pusar sampai ke lutut. Sedangkan aurat yang harus ditutup oleh wanita Muslimah dari pandangan wanita non-Muslimah adalah seperti penutupan yang harus dilakukannya terhadap laki-laki yang bukan muhrimnya.
Tapi banyak wanita Muslimah yang menganggap remeh masalah ini. Sehingga tidak jarang anda melihat salah seorang dari mereka dengan tidak segan-segan membuka auratnya di hadapan temannya baik karena adanya sebab maupun tidak. Tidak jarang mereka saling bantu membantu mencukur rambut kakinya dan bahkan rambut kemaluannya. Semuanya itu merupakan perbuatan yang jelas-jelas dilarang syari'at.
"Artinya : Tidak diperbolehkan bagi orang laki-laki melihat aurat laki-laki, dan wanita melihat aurat wanita. Dan tidak boleh seorang laki-laki dengan orang laki-laki lain dalam satu selimut, dan wanita dengan wanita lain dalam satu selimut". (Hadits Riwayat Muslim)
Imam Nawawi Rahimahullahu mengatakan:
"Dalam hadits tersebut terdapat larangan bagi orang laki-laki melihat aurat laki-laki lain, dan wanita melihat aurat wanita lain. Larangan ini sama sekali tidak dapat diganggu gugat".
Selanjutnya Imam Nawawi mengatakan : "Mengenai sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, 'Dan tidak boleh seorang laki-laki bergabung dengan orang laki-laki lain dalam satu selimut, dan wanita bergabung dengan wanita lain dalam satu selimut', merupakan larangan yang sifatnya haram apabila diantara keduanya tidak terdapat pemisah. Dan itu menunjukkan larangan penyentuhan aurat bagian tubuh mana pun, baik laki-laki maupun wanita. Hal itu telah menjadi kesepakatan para ulama. Banyak orang yang meremehkan masalah itu, di mana mereka banyak yang mandi dalam satu kamar mandi. Oleh karena itu, hendaknya setiap orang menjaga pandangan, tangan dan anggota tubuh lainnya dari aurat orang lain, serta memelihara auratnya jangan sampai dilihat dan disentuh oleh orang lain. Dan apabila melihat orang yang mengabaikan hal itu, maka hendaklah mereka menjauhi dan memperingatkannya.
Dalam hal ini penulis tambahkan, larangan ini juga mencakup tidurnya seorang wanita dengan wanita lain dalam satu tempat tidur tanpa busana sehingga mengakibatkan aurat masing-masing dari keduanya tersentuh atau terlihat. Dan hal itu termasuk perbuatan-perbuatan haram dan sekaligus merupakan awal dari tindakan cabul.
Batasan aurat yang harus ditutupi oleh wanita Muslimah bagi wanita Muslimah lainnya adalah dari pusar sampai ke lutut. Sedangkan aurat yang harus ditutup oleh wanita Muslimah dari pandangan wanita non-Muslimah adalah seperti penutupan yang harus dilakukannya terhadap laki-laki yang bukan muhrimnya.
Tapi banyak wanita Muslimah yang menganggap remeh masalah ini. Sehingga tidak jarang anda melihat salah seorang dari mereka dengan tidak segan-segan membuka auratnya di hadapan temannya baik karena adanya sebab maupun tidak. Tidak jarang mereka saling bantu membantu mencukur rambut kakinya dan bahkan rambut kemaluannya. Semuanya itu merupakan perbuatan yang jelas-jelas dilarang syari'at.
Selasa, 27 Desember 2011
SHOLAT SUNNAH SETELAH ADZAN MAGHRIB
Syiakhul Islam Ibnu Taimiyyah ditanya tentang masalah hukum sholat setelah adzan maghrib. Lalu beliau menjawab :
“Adalah Bilal, sebagaimana perintahkan oleh Nabi (untuk) memberikan jeda waktu antara andzan dan iqomat, sehingga (orang-orang) dapat melakukan sholat dua roka’at. Adalah para shahabat sholat dua rokaat setelah adzat sebelum iqomah (maghrib), Nabi menyaksikan dan membiarkan mereka (melakukan sholat dua roka’at).Kemudian beliau bersabda :
Artinya : “Antara adzan dan iqomat itu ada sholat, antara adzan dan iqomat itu ada sholat, antara adzan dan iqomat itu ada sholat bagi yang mau mengerjakannya”. [Disebutkan dalam Kitab Hadits Mukhtshor Shohihul Bukhori : hal : 121. No. Hadits : 361. Hadits dikeluarkan oleh Imam Muslim di dalam Sholatul Mushafirin Wa Qoshriha. Bab : Baina Adzaini Sholat. No. 838]
Rosulullah menambahkan bagi yang mau mengerjakananya karena takut itu dijadikan sunnah.
Apabila seorang muadzin memberikan jeda waktu untuk melakukan sholat antara adzan dan iqomat, maka sholat pada waktu itu adalah hasanah (perbuatan yang baik), (tapi) jika muadzin langsung mengumandangkan iqomat, maka bersegera melakukan sholat itu merupakan sunnah, karena Nabi bersabda : Artinya : “Jika kalian mendengar orang yang adzan, maka ucapkanlah seperti yang dilafadzkan oleh muadzin”.
Tidak seyogyanya seseorang meninggalkan seruan muadzin sementara ia sholat dua rokaat, karena sunnahnya bagi orang yang mendengarkan adzan adalah mengucapkan seperti yang dilafadzkan muadzin, kemudian bersholawat atas Nabi . Lalu mengucapkan do’a : “ Allahumma robba hadihid dakwatit tammaah ……“. Kemudian setelah itu berdo’a. . [Diambil Dari Kitab Al Fatawa Al Kubra. Karangan Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah : 2/260-261]
Senin, 26 Desember 2011
Lemahhnya Hadits-Hadits Tentang “Mengusap Muka Dengan Kedua Tangan Seusai Berdo'a”
PENDAHULUAN
Sering kita melihat diantara saudara-saudara kita apabila telah selesai berdo'a, kemudian mereka mengusap muka mereka dengan kedua telapak tangannya. Mereka yang mengerjakan demikian itu, ada yang sudah mengetahui dalilnya, tapi mereka tidak mengetahui derajat dari dalil tersebut. Apakah sah datang dari Nabi shallallau 'alaihi wa sallam atau tidak .? Ada juga yang mengerjakan karena ikut-ikutan (taklid) saja.
Oleh karena itu jika ada orang bertanya kepada saya (Abdul Hakim bin Amir Abdat) : "Adakah dalilnya tentang mengusap muka dengan kedua telapak tangan sesudah selesai berdo'a, dan bagaimana derajatnya, sah atau tidak dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ..? Maka saya menjawab ; "Bahwa tentang dalilnya ada beberapa riwayat yang sampai kepada kita, tapi tidak satupun yang sah (shahih atau hasan) datangnya dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam".
Untuk itu ikutilah pembahasan saya di bawah ini, mudah-mudahan banyak membawa manfa'at bagi saudara-saudara.
1. HADIST PERTAMA
"Artinya : Dari Ibnu Abbas, ia berkata ; "Telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam : Apabila engkau meminta (berdo'a) kepada Allah, maka hendaklah engkau berdo'a dengan kedua telapak tanganmu, dan janganlah engkau berdo'a dengan kedua punggungnya. Maka apabila engkau telah selesai berdo'a, maka usaplah mukamu dengan kedua telapak tanganmu". (Riwayat Ibnu Majah No. 1181 & 3866).
Hadits ini derajatnya sangatlah LEMAH/DLO'IF. Karena di sanadnya ada orang (rawi) yang bernama SHALIH BIN HASSAN AN-NADLARY. Para ahli hadits melemahkannya sebagaimana tersebut di bawah ini :
- Kata Imam Bukhari : Munkarul Hadits (orang yang diingkari hadits/riwayatnya).
- Kata Imam Abu Hatim : Munkarul Hadits, Dlo'if.
- Kata Imam Ahmad bin Hambal : Tidak ada apa-apanya (maksudnya : lemah).
- Kata Imam Nasa'i : Matruk (orang yang ditinggalkan haditsnya).
- Kata Imam Ibnu Ma'in : Dia itu Dlo'if.
- Imam Abu Dawud telah pula melemahkannya.
[Baca : Al-Mizanul 'Itidal jilid 2 halaman 291, 292).
Imam Abu Dawud juga meriwayatkan dari jalan Ibnu Abbas, tapi di sanadnya ada seorang rawi yang tidak disebut namanya (dalam istilah ilmu hadits disebut rawi MUBHAM). sedang Imam Abu Dawud sendiri telah berkata : "Hadits inipun telah diriwayatkan selain dari jalan ini, dari Muhammad bin Ka'ab al-Quradziy (tapi) SEMUANYA LEMAH. Dan ini jalan yang semisalnya, dan ia (hadits Ibnu Abbas) juga lemah". (Baca : Sunan Abi Dawud No. 1485).
2. HADITS KEDUA
Telah diriwayatkan oleh Saa-ib bin Yazid dari bapaknya (Yazid) :
"Artinya : Bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, apabila beliau berdo'a mengangkat kedua tangannya, (setelah selesai) beliau mengusap mukanya dengan kedua (telapak) tangannya". (Riwayat : Imam Abu Dawud No. 1492).
Sanad hadits inipun sangat lemah, karena di sanadnya ada rawi-rawi :
- IBNU LAHI'AH, seorang rawi yang lemah.
- HAFSH BIN HASYIM BIN 'UTBAH BIN ABI WAQQASH, rawi yang tidak diketahui/dikenal (majhul).
[Baca : Mizanul 'Itidal jilid I hal. 569].
3. HADITS KETIGA
Telah diriwayatkan oleh Umar bin Khattab, ia berkata :
"Artinya : Adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, apabila mengangkat kedua tangannya waktu berdo'a, beliau tidak turunkan kedua (tangannya) itu sehingga beliau mengusap mukanya lebih dahulu dengan kedua (telapak) tangannya". (Riwayat : Imam Tirmidzi).
Hadits ini sangat lemah, karena disanadnya ada seorang rawi bernama HAMMAD BIN ISA AL-JUHANY.
Dia ini telah dilemahkan oleh Imam-imam : Abu Dawud, Abu Hatim dan Daruquthni.
Imam Al-Hakim dan Nasa'i telah berkata : Ia telah meriwayatkan dari Ibnu Juraij dan Ja'far Ash-Shadiq hadits-hadits palsu.
[Baca : Al-Mizanul 'Itidal jilid I hal. 598 dan Tahdzibut-Tahdzib jilid III hal. 18-19]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata :
"Adapun tentang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya di waktu berdo'a, maka sesungguhnya telah datang padanya hadits-hadits yang shahih (lagi) banyak (jumlahnya). Sedangkan tentang beliau mengusap mukanya dengan kedua (telapak) tangannya (sesudah berdo'a), maka tidak ada padanya (hadits yang shahih lagi banyak), kecuali satu-dua hadits yang tidak dapat dijadikan hujjah (alasan tentang bolehnya) dengan keduanya". [Baca : Fatawa Ibnu Taimiyah jilid 22 hal. 519].
Saya (Abdul Hakim bin Amir Abdat) berkata : Bahwa perkataan Ibnu Taimiyah tentang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berdo'a dengan mengangkat kedua tangannya telah datang padanya hadits-hadits yang shahih lagi banyak, ini memang sudah betul dan tepat. Bahkan hadits-haditsnya dapat mencapai derajat mutawatir karena telah diriwayatkan oleh sejumlah sahabat.
Di bawah ini saya akan sebutkan sahabat yang meriwayatkannya dan Imam yang mengeluarkan haditsnya :
- Oleh Abu Humaid (Riwayat Bukhari & Muslim).
- Oleh Abdullah bin Amr bin Ash (Riwayat Bukhari & Muslim).
- Oleh Anas bin Malik (Riwayat Bukhari) tentang Nabi berdo'a di waktu perang Khaibar dengan mengangkat kedua tangannya.
- Oleh Abu Musa Al-Asy'ari (Riwayat Bukhari dan lain-lain).
- Oleh Ibnu Umar (Riwayat Bukhari).
- Oleh Aisyah (Riwayat Muslim).
- Oleh Abu Hurairah (Riwayat Bukhari).
Oleh Sa'ad bin Abi Waqqash (Riwayat Abu Dawud).
Dan lain-lain lagi shahabat yang meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, ada berdo'a dengan mengangkat kedua tangannya di berbagai tempat. Semua riwayat di atas (yaitu : tentang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berdo'a mengangkat kedua tangannya) adalah merupakan FI'IL (perbuatan) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Adapun yang merupakan QAUL (perkataan/sabda) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, ada di-riwayatkan oleh Malik bin Yasar (sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam), ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Artinya : Apabila kamu meminta (berdo'a) kepada Allah, maka mintalah kepada-Nya dengan telapak tangan kamu, dan janganlah kamu meminta kepada-nya dengan punggung (tangan)". (Shahih Riwayat : Abu Dawud No. 1486).
Kata Ibnu Abbas (sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam) :
"Artinya : Permintaan (do'a) itu, yaitu : Engkau mengangkat kedua tanganmu setentang dengan kedua pundakmu". (Riwayat Abu Dawud No. 1486).
Adapun tentang tambahan "mengusap muka dengan kedua telapak tangan sesudah selesai berdo'a" telah kita ketahui, semua riwayatnya sangat lemah dan tidak boleh dijadikan alasan tentang sunatnya sebagaimana dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Jadi yang sunahnya itu hanya mengangkat kedua telapak tangan waktu berdoa.
Adalagi diriwayatkan tentang mengangkat kedua tangan waktu berdo'a.
"Artinya :Dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam : 'Wahai sekalian manusia ! Sesungguhnya Allah itu Baik, dan Ia tidak akan menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah perintahkan mu'minim sebagaimana Ia telah perintahkan Rasul, Ia berfirman : "Wahai para Rasul !.. Makanlah dari yang baik-baik, dan kerjakanlah amal shalih, sesungguhnya Aku dengan apa-apa yang kamu kerjakan maha mengetahui ". (Al-Mu'minun : 51). Dan Ia telah berfirman (pula) : "Wahai orang-orang yang beriman !. Makanlah dari yang baik-baik apa-apa yang Kami rizkikan kepada kamu". (Al-Baqarah : 172). Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan tentang seseorang yang mengadakan perjalanan jauh dengan rambut kusut-masai dan berdebu. (orang tersebut) mengangkat kedua tangannya ke langit (berdo'a) : Ya Rabbi ! Ya Rabbi ! (Kata Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam selanjutnya) : "Sedangkan makanannya haram dan minumannya haram dan pakaiannya haram dan diberi makan dengan yang haram, maka bagaimana dapat dikabulkan (do'a) nya itu". (Shahih Riwayat Muslim 3/85).
Di hadits ini ada dalil tentang bolehnya mengangkat kedua tangan waktu berdo'a (hukumnya sunat). Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, menceritakan tentang seseorang yang berdo'a sambil mengangkat kedua tangannya ke langit. Orang tersebut tidak dikabulkan do'anya karena : Makanan, minuman, pakaiannya, dan diberi makan dari barang yang haram atau hasil yang haram.
4. KESIMPULAN
- Tidak ada satupun hadits yang shahih tentang mengusap muka dengan kedua telapak tangan sesudah berdo'a. Semua hadits-haditsnya sangat dlo'if dan tidak boleh dijadikan alasan tentang sunatnya. karena tidak ada contohnya dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka mengamalkannya berarti BID'AH.
- Berdo'a dengan mengangkat kedua tangan hukumnya sunah dengan mengambil fi'il dan qaul Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang telah sah.
- Ada lagi kebiasaan bid'ah yang dikerjakan oleh kebanyakan saudara-saudara kita yaitu : Mengusap muka dengan kedua telapak tangan atau satu telapak tangan sehabis salam dari shalat.
HUKUM NYANYIAN DAN MUSIK DALAM ISLAM
A. MUQQADIMAH
Segala puji bagi Alloh, Robb semesta alam, kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertaqwa, dan tiada permusuhan kecuali terhadap orang-orang yang dzolim. Kita memohon kepada Allah agar memperlihatkan kebenaran kepada kita sebagai kebenaran, sehingga kita dapat mengikutinya. Serta menunjukkan kebatilan, sehingga kita dapat menjauhinya. Manusia pada zaman dahulu, apabila salah seorang diantara mereka berbuat maksiat, maka ia merasa malu dan bersembunyi, kemudian beristighfar dan bertaubat kepada Allah SWT dari perbuatan itu.
Kemudian setelah itu kebodohan semakin luas, ilmu semakin sedikit, dan banyak persoalan diremehkan, maka orang menjadi biasa melakukan kemaksiatan secara terbuka dan terang-terangan. Selanjutnya keadaan semakin berbalik sampai ada sekelompok dari saudara-saudara kita seIslam
( semoga Allah memberikan taufiq dan hidayah-Nya kepada mereka ) yang telah di gelincirkan dan di sesatkan oleh syaitan untuk mencintai nyanyian, permainan dan mendengarkan musik, lalu meyakininya sebagai bagian dari Ad-Din yang dapat mendekatkan diri kepada Allah. Banyak umat Islam yang menyatakan hal itu secara terang-terangan dan menentang jalan orang-orang beriman serta menyelisihi para fuqoha’, ulama’, dan ahlul ilmi.
Virus nyanyian dan musik itu terus menerus menyerang rumah-rumah kaum muslimin, sampai-sampai mereka tak sanggup lagi membendungnya. Dan terus mengerogoti ketahanan aqidah dan akhlaq umat ini, sudah berapa banyak kaum laki-laki dan perempuan yang terkena fitnah ini disebabkan lemah dan dangkalnya iman mereka, sehingga umur dan hari-hari mereka hanya disia-siakan untuk mendengarkan nyanyian dan musik yang mana ia menjurus kepada nafsu, homoseksual, dan perzinaan. Anehnya mereka menganggap hal itu sebagai seni., Telah begitu rusak dan bobroknya akal dan pikiran mereka. Sehingga dalam sebuah hadits yang bersumber dari Abi Amir dan Abu malik Al-Asy’ari ra. Bahwa Rosululloh saw bersabda :
“Kelak akan ada dari umatku dari beberapa kaum yang menghalalkan zina, sutra, khomer dan alat-alat musik.”( HR.Bukhori / fathul bari 10 / 63 )
Imam Ahmad Rahimahullah berkata: “ Berdasarkan hadits-hadits shahih yang melarang alat-alat musik secara mutlaq telah menetapkan haramnya alat-alat musik seperti: kecapi, seruling, rebab dan lain sebagainya, adapun saat ini alat-alat musik yang terlarang seperti : piano, biola, harpa, gitar dan lain sebagainya.”
Qotadah Rahimahullah berkata : “ ketika Iblis diturunkan dari jannah ia berkata : Rabbi engkau telah melaknatku lalu apa pekerjaanku ? Allah menjawab : “sihir”, ia bertanya lagi : apa Qur’anku ? Allah menjawab : “syair”, ia bertanya lagi : apa tulisanku ? Allah menjawab :” tato”, Apa makananku ? Allah menjawab : “setiap bangkai dan apa saja yang tidak disebut namaku atasnya”. Ia bertanya lagi : apa minumanku ? Allah menjawab : “setiap minuman yang memabukkan”, ia bertanya lagi : dimana tepat tinggalku ? Allah menjawab : “di pasar”, apa suaraku ? Allah menjawab : “seruling”., ia bertanya lagi : apa perangkap-perangkapku ? Allah menjawab : “wanita”. ( Ighatsatul lahfan : 1 / 251 ).
B. DALIL-DALIL YANG MENGHARAMKAN MUSIK DAN NYANYIAN ADALAH
1. Dari Al-Qur’an :
Ibnu Mas’ud bersumpah dengan nama Allah bahwa yang dimaksud dengan firman Allah :
“Dan diantara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan Allah itu sebagai olok-olokan, maka bagi mereka itu adzab yang sangat pedih”. ( QS. Luqman : 6 )
Yang dimaksud dengan lahwul hadits adalah nyanyian . ( Tafsir Ibnu Katsir 3 / 412)
Dalam surat lain Allah swt berfirman:
“Hasunglah siapa yang kamu sanggupi diatara mereka dengan suaramu”. (QS. Al Isro’ : 64 )
Berkata Mujahid: “Yang dimaksud dengan shouth ialah nyanyian dan seruling.” (Al Jami’ li Ahkamil Qur’an 10 / 289 ).
2. Dari hadits .
Bersumber dari Anas bin Malik . Bahwa Rasulullah Sholallahu’alaihi wasalam bersabda :
“Kelak akan terjadi pada umat ini tiga hal, mereka ditengggelamkan ke dalam bumi, dihujani batu, dan diubah bentuk yaitu jika mereka minum arak, mengundang biduanita untuk bernyanyi dan menabuh alat-alat musik”. ( HR At-Timidzi : 2212. Silsilah Ahadits Ashahihah 5 / 236 )
C. PENDAPAT ULAMA MADZAHIB MENGENAI NYANYIAN DAN MUSIK
· Pendapat madzhab Hanafi
Madzhab Abu Hanifah menjelaskan keharaman mendengarkan segala bentuk permainan seperti seruling, rebana, sampai memukul-mukul tongkat atau pedang untuk menghasilkan bunnyi-bunyian pun dilarang. Mereka menjelaskan bahwa hal tersebut merupakan kemaksiatan yang menyebabkan kefasikan dan tertolak persaksiannya.
· Madzhab Maliki
Madzhab Maliki mengatakan bahwa Imam Malik melarang bernyanyi dan mendengarkan nyanyian. Beliau mengatakan jika seseorang membeli budak wanita, namun ternyata budak itu penyanyi, maka ia dapat mengembalikan budak yang telah dibelinya. Dengan alasan cacat karena ia seorang penyanyi.
· Madzhab Syafii
Imam Syafi`i mengatakan, nyanyian merupakan permainan yang makruh, yang menyerupai kebatilan dan kesia-siaan. Barang siapa melakukannya maka ia adalah orang bodoh yang tertolak kesaksiannya.
· Madzhab Hambali
Mengenai pendapat Hanbali putra beliau yang bernama Abdullah pernah berkata, aku pernah bertanya kepada ayahku mengenai nyanyian, maka beliau menjawab, nyanyian itu akan menimbulkan kemunafikan dalam hati. ( Ighosatuh lahfan 1 / 227-229 ).
D. KERUSAKAN YANG DITIMBULKAN OLEH NYANYIAN DAN MUSIK
Islam tidak melarang sesuatu kecuali ada madharat yang ditimbulkannya. Adapun kerusakan dan bencana mendengarkan nyanyian dan musik banyak sekali, diantaranya :
a) Akan merusakkan hati dan menumbulkan nifak didalamnya.
Ibnu Mas’ud berkata : “ Nyanyian itu menumbuhkan kemunafikan didalam hati, seperti air yang menumbuhkan sayuran, sedangkan dzikir menumbuhkan iman dalam hati seperti air yang menumbuhkan tanaman”.
Diantara seluruh kemaksiatan yang lain, dimana sisi nyanyian itu dapat menimbulkan kemunafikan dalam hati..??
Ketahuilah, bahwa nyanyian itu memiliki karakter yang dapat berpengaruh besar dalam mewarnai hati dengan kemunafikan, dan tumbuhnya tanaman disebabkan adanya air. Nyanyian dan Al-Qur’an selamanya tidak akan menyatu dalam hati karena kedua jenis tersebut berlawanan dan bertolak belakang. Al-Qur’an melarang mengikuti hawa nafsu, memerintahkan memelihara kesopanan dan kebersihan hati, menjauhi keinginan-keinginan nafsu dan sebab-sebab kesesatan serta melarang mengikuti langkah-langkah syaithan. Sedangkan nyanyaian memerintahkan kebalikan itu semua, ia akan membangkitkan jiwa untuk melakukan keinginan-keinginan dan akan mendorong kepada setiap keburukan yang dianggap manis. Jika seorang telah kecanduan nyanyian akan menyebabkan Al Qur’an terasa berat bagi hati, serta menjadikan hati tidak suka mendengarnya, jika ini bukan kemunafikan, maka apalagi sebenarnya yang dinamakan kemunafikan itu ? Penyanyi penyeru hati untuk mengikuti fitnah syahwat, sedangkan orang munafik menyeru kepada fitnah syubhat.
b) Akan menimbulkan terjadinya syirik
misalnya : cinta kepada penyanyi itu melabihi cintanya kepada Allah.
c) Penyebab perbuatan zina
bahkan merupakan penyebab terbesar untuk menjerumuskan kejurang kekejian. Karena seseorang setelah mendengarkan nyanyian dan musik maka rusaklah jiwa mereka serta mudah untuk melakukan perbuatan keji.
d) Terjadi tindak pembunuhan
Peristiwa pembunuhan sering terjadi diarena pertunjukan musik disebabkan syaithan telah menguasai hati dan kekuatan mereka.
e) Jauh dari mentadaburi Al Qur’an
Menghilangkan dari hati kecintaan terhadap Al-Qur’an, dikarenakan kecintaan kepada, musik dan nyanyian, tidak mungkin menyatu kecuali salah satu dari keduanya pasti menyingkir.
f) Menimbulkan kemurkaan Allah Ta’ala
Dikarenakan ia akan menghalangi dzikir dan ketaatan kepada-Nya.
Adh-Dhahak berkata, “ Nyanyian itu kerusakan bagi hati dan menyebabkan kemurkaan illahi ”. ( Majmuah rosail 1 / 58-59 )
Dari keterangan-keterangan diatas jelaslah bahwa musik dan nyanyian adalah qur’annya syetan dan merupakan tirai tebal yang menghalangi seorang hamba mengingat Allah dan ia merupakan sumber kemaksiatan. Apalagi kebanyakan musik dan nyanyian sekarang ini hanya berbicara mengenai perkara cinta, pacaran, cumbu rayu, dan mempertunjukkan bentuk tubuh yang membangkitkan birahi dan mendorong zina serta merusak ahklak maka hal tersebut jelas-jelas haram.
Wahai orang yang tersesat dan menjual jatah dari Allah dengan penukaran jatahnya dari syetan, sungguh jual beli seperti ini sangat rugi di dunia dan akhirat.
Ibnu Qoyyim mengatakan nama-nama alunan syetan sangat banyak diantaranya yaitu Allahwul hadits, Al bathil, al muka at tasdiah ( siulan dan tepuk tangan ), ruqyatul zina( mantra zina ), quranus syaithon, dan munbitun nifak fil qalb ( Ighotsatul lahfan 1 / 237 )
E. CARA MENJAUHI MUSIK
Adapun cara yang ditempuh untuk menghindari musik dan nyanyian adalah sebagai berikut:
â Menjauhkan diri dari mendengarkan nyanyian dan musik lewat televisi dan radio.
Sehingga tidak mengherankan Umar bin Abdul Azis pernah menulis surat kepada orang yang mendidik anaknya, “ Hendaklah didikanmu yang mula-mula menjadi keyakinannya adalah membenci segala macam permainan yang melalaikan yang bersumber dari syaitan dan berakhir mendapatkan kemurkaan Allah, karena itu aku telah menerima wasiat dari para ‘ulama : yang terpercaya bahwa suara musik, mendengarkan nyanyian, serta asik dengannya dapat menumbuhkan kemunafikan dalam hati, sebagaimana rerumputan itu akan tumbuh disebabakan oleh air, dengan demikian nyanyian dapat merusak hati dan jika hati telah rusak maka kemunafikan dalam hati akan merajalela. ( Ighotsatu lahfan 1 / 250 ).
â Obat yang paling manjur adalah membaca Al Qur’an Allah swt berfirman :
“Hai manusia sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Robbmu dan penyembuh bagi penyakit dalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman”.( Yunus : 57 ).
â Mempelajari riwayat hidup Rosulullah Sholallahu’alaihi wasalam sebagai orang yang berakhlak mulia dan para sahabat-sahabatnya. ( Majmuah Ar-Rosail 1/ 63 )
Syeikh Muhammad jamil zainu menyatakan bahwa nyanyian yang diperbolehkan dalam Islam adalah :
a. Nyanyian pada hari raya, sebagaimana hadits yang bersumber dari Aisyah bahwa Rasulullah Sholallahu’alaihi wasalam bersabda :
“Rasulullah Sholallahu’alaihi wasalam masuk menemui Aisyah, didekatnya ada dua gadis yang sedang memukul rebana, dalam riwayat lain, lalu Abu Bakar membentak mereka, maka Rasulullah. bersabda, biarkanlah mereka, karena setiap kaum mempunyai hari raya, dan hari raya kita in.”
( HR Bukhari, Fathul Baari 2 / 602 )
b. Nyanyian yang diiringi rebana pada waktu perkawinan, dengan maksud memeriahkan dan mengumumkan akad nikah, dan mendorong untuk nikah, sebagaimana sabda Rasulullah :
“Yang membedakan antara halal nikah dan haram ( zina ), adalah memukul rebana dan lagu-lagu waktu ‘akad nikah”. ( HR Ahmad : 3 / 418 ).
c. Nyanyian yang islami (nasyid), pada waktu kerja yang mendorong agar bersemangat bekerja terutama yang mengandung Do’a, atau berisi tauhid, cinta pada Rosul dan menyebut akhlaqnya atau berisi ajakan jihad, memperbaiki budi pekerti, mengajak persatuan, tolong- menolong sesama umat, menyebut dasar-dasar Islam, atau berisi hal-hal yang bermanfaat bagi umat. ( Majmuah Ar-Rosail : 1 / 62 ).
Dengan catatan :
a) Syairnya tidak mengandung lafadz-lafadz syirik, misalnya mengkultuskan Ahlul bait Rasulullah, atau memohon syafaat kepada orang-orang shaleh yang telah wafat.
b) Tidak diiringi dengan alat-alat musik yang di haramkan.
Imam An-Nawawi berkata,” bernyanyi dengan alat-alat musik merupakan syiarnya peminum khomer seperti : mandolin, kecapi, kastanyet serta segala jenis alat alat musik gesek dan petik adalah haram di gunakan dan haram di dengarkan.
Abu Amru bin Sholah menyatakan dalam fatwa beliau hendaklah di ketahui bahwa rebana, klarinet, dan nynyian jika menyatu, maka mendengarkannya adalah haram menurut para Imam madzhab dan kaum muslimin, selain mereka tak seorangpun yang menyatakan kebolehan mendengarkannya. ( Ighosatul lahfan : 1/228 ).
Rasulullah Sholallahu’alaihi wasalam pernah mendendangkan syair yang berbunyi :
“ Ya Allah, tidak ada hidup ini kecuali hidup diakhirat, maka ampunilah Shahabat Anshar dan Muhajirin”.
Sahabat Anshar dan Muhajirain menjawab :
“ Kita adalah orang yang telah berbaiat kepada Muhammad, akan berjuang terus selama hayat masih dikandung badan (Majmuah Ar-Rasail 1/ 62 )
F. KESIMPULAN
Dari keterangan-kererangan diatas dapat kita simpulkan bahwa hukum musik dan nyanyian adalah sebagai berikut :
1. Haram nyanyian yang melukiskan anggota tubuh, yang membuat fitnah dan mengandung percintaan yang menjurus kepada perzinaan.
2. Haram mendengarkan musik dan segala bentuknya karena mengandung bahaya dan merusak akhlak.
3. Diperbolehkan memukul rebana dan menyanyi pada hari raya dan pernikahan .
4. Diperbolehkan nyanyian (nasyid ) yang baik-baik ( tidak melanggar syariat ) pada waktu bekerja dan tanpa diiringi musik . (Majmuah Ar-Rasail 1 / 64 ).
G. PENUTUP
Demikianlah risalah singkat tentang hukum nyanyian dan musik dalam Islam yang telah kami paparkan dengan jelas menurut Al-Qur’an, As-Sunnah dan pendapat ulama’ salaf, dengan maksud agar fitnah sahwat dan syubhat yang ada pada umat ini dapat teratasi.
Maroji’ (Referensi) :
1. Al-Qur’anul Kariem
2. Fathul Barie’ Ibnu hajar Al-Atsqolani, Darul Kutub Al-Ilmiyah, Bairut cetakan I 1410H.
3. Jami’ At-Tirmidzi Ibnu Musa At-Tirmidzi, Darus Salam, cet. I Muharram 1420H
4. Silsilah Ahadits As-Shahihah, Syaikh Al bani
5. Tafsir Ibnu Katsir Abu fida’ Ismail bin katsir, Maktabah Al-Asyriyah Bairut cet III 1420H
6. Al-Jami’ liahkamil Qur’an Imam Al-Qurthubi cet II 1372H
7. Ighatsatul lahfan Ibnu Qoyyim, Darul Ma’rifah Bairut
8. majmuah Ar-Rasail At-Taujihat al-Islamiyah Muhammad Jamil Zainu.
9. Musnad Imam Ahmad bin Hambal, Maktabah Al-Islamiyah Bairut cet IV 1403 H.
Langganan:
Postingan (Atom)