Akhir-akhir ini banyak orang yang menanyakan hukum menikah via telepon
atau internet. Apakah hal ini sah menurut pandangan Syariah ? Jika tidak sah, bagaimana
solusinya bagi orang-orang yang tempatnya saling berjauhan, sebagaimana yang
terjadi pada diri salah seorang TKW yang berkerja di Hongkong dengan masa
kontrak 2 tahun. Kebetulan dia punya kenalan orang dari Solo, keduanya sudah
saling mencintai dan ingin segera melakukan akad pernikahan, sedang kondisi mereka berdua tidak
memungkinkan untuk saling bertemu dalam waktu secepatnya, apa yang harus mereka
kerjakan, menikah lewat telepon atau internet, atau bagaimana ?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, perlu dijelaskan di sini bahwa proses
pernikahan dalam Islam mempunyai aturan- aturan yang ketat. Sebuah akad pernikahan
yang sah harus terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Rukunnya adalah ijab dan
qabul, sedang syaratnya adalah ijin dari
wali perempuan dan kehadiran dua orang saksi. Ini semuanya harus dilakukan
dengan jelas dan transparan, sehingga tidak ada unsur penipuan dan
pengelabuhan. Oleh karena itu, calon suami atau wakilnya harus hadir di tempat,
begitu juga wali perempuan atau wakilnya harus hadir di tempat, dan kedua
saksipun harus hadir di tempat untuk menyaksikan akad pernikahan.
Maka untuk menentukan hukumnya, paling tidak ada dua syarat sah nikah
yang harus dibahas terlebih dahulu :
Syarat Pertama : calon mempelai
laki-laki atau yang mewakilinya dan wali perempuan atau yang mewakilinya harus
berada dalam satu majlis ketika dilangsungkan akad pernikahan.
Pertanyaannya adalah apakah dua pihak yang berbicara melaui telpun atau
internet untuk melakukan transaksi dianggap dalam satu majlis, sehingga
transaksi tersebut menjadi sah ? Dalam
hal ini, Majma’ al Fiqh telah menetapkan hukum penggunakan ponsel, hp,
dan internet di dalam melakukan transaksi, yang isinya sebagai berikut : “ Jika
transaksi antara kedua pihak berlangsung dalam satu waktu, sedangkan mereka
berdua berjauhan tempatnya, tetapi menggunakan
telpun, maka transaksi antara keduanya dianggap transaksi antara dua
pihak yang bertemu dalam satu majlis.” ( Majalah Majma’ al Fiqh al Islami,
OKI, periode ke – 6 ( no : 2/1256 )
Syarat Kedua : pernikahan tersebut harus
disaksikan oleh dua orang atau lebih.
Pertanyaannya adalah dua saksi pernikahan tersebut tidak bisa
menyaksikan secara langsung akad pernikahan tersebut, mereka berdua hanya bisa mendengar
suara akad pernikahan dari kedua belah pihak melalui telpun atau internet,
apakah persaksian keduanya telah dianggap sah atau tidak ?
Masalah di atas mirip
dengan masalah persaksian orang buta yang
mendengar sebuah transaksi antara dua belah pihak, apakah persaksian orang buta tersebut sah ?
Para ulama berbeda pendapat dalam
masalah ini :
Pendapat Pertama menyatakan bahwa persaksian orang buta tersebut tidak bisa diterima.
Ini pendapat Hanafiyah dan Syafi’iyah.
Berkata al Kasani : “ Persaksian
orang buta tidak diterima dalam semua hal. Karena dia tidak bisa membedakan
antara kedua belah pihak. “ ( Badai’ Shonai’ 3/243 )
Berkata Imam Syafi’I : “ Jika
seseorang memberikan persaksian, sedangkan dia buta dan mengatakan : saya
menetapkannya, sebagaimana saya menetapkan segala sesuatu dengan mengetahui
suaranya atau dengan meraba, maka persaksian orang buta tersebut tidak bisa
diterima, karena suara mempunyai kemiripan satu dengan yang lainnya, begitu
juga rabaan mempunyai kemiripan antara
satu dengan yang lainnya “ ( Al Umm : 7/46 )
Pendapat Kedua menyatakan bahwa
persaksian orang buta bisa diterima selama dia menyakini suara tersebut. Ini
adalah pendapat Malikiyah dan Hanabilah.
Tersebut di dalam buku al
Mudawanah al Kubra ( 5/ 43 ) : “ Apakah dibolehkan seorang buta memberikan
persaksian di dalam masalah perceraian ? Berkata Imam Malik : “ Iya, dibolehkan
jika ia mengenali suara tersebut. Berkata Ibnu al Qasim : Aku bertanya kepada
Imam Malik: “ Seorang laki-laki mendengar tetangganya dari balik tembok
sementara dia tidak melihatnya, ia mendengar tetangga tersebut mencerai
istrinya, kemudian dia menjadi saksi atasnya berdasarkan suara yang dia kenal ?
Imam Malik menjawab : persaksiannya diperbolehkan.”
Di dalam kitab Ad
Dzakhirah ( 10/164 ) disebutkan : “ Kesaksian orang buta terhadap
pembicaraan diperkenankan ( dianggap sah ) “
Di dalam kitab Mukhtashor
al Khiraqi ( hlm : 145 ) disebutkan
: “ Diperbolehkan persaksian orang buta jika dia yakin dengan suara tersebut “
Pendapat kedua ini berdalil
dengan beberapa hadist, diantaranya adalah :
1/Hadist Abdullah bin Umar
ra, bahwasanya nabi Muhammad saw bersabda : “ Sesungguhnya Bilal
mengumandangkan adzan pada waktu malam, maka makan dan minumlah sampai
terdengar adzan Ibnu Maktum “ ( HR Bukhari )
Hadist di atas menunjukkan
bahwa adzan Ibnu Maktum ( beliau adalah seorang yang buta ) merupakan
persaksian darinya terhadap masuknya waktu sholat. Seandainya persaksian orang
buta tertolak, tentunya adzannya juga tidak sah. Begitu juga yang mendengar adzan digolongkan
orang yang buta, karena hanya mendengar suara muadzin tanpa melihat secara
langsung fisik dari muadzin tersebut, dan itupun dianggap sah. ( Ibnu Abdul Barr, Tamhid : 10/61, An
Nawawi, Syarh Muslim : 7/202, Ibnu Hajar, Fathul Bari : 5/ 265)
2/ Dari Aisyah berkata : “
Pada suatu ketika Rasulullah saw sholat tahajud di rumahku, dan beliau
mendengar suara Ubad yang sedang sholat di masjid, beliau bertanya “ Wahai
Aisyah apakah itu suara Ubad?, saya menjawab : “ Benar“, beliau langsung
berdo’a : “ Ya Allah berilah kasih sayang kepada Ubad “ ( HR Bukhari )
Dua hadist
di atas menunjukkan secara kuat bahwa persaksian orang buta dibolehkan dan
dianggap sah di dalam ibadah dan mua’malah.
Jika
demikian halnya, bagaimana hukum persaksian dua orang di dalam akad pernikahan
lewat telpun maupun internet, apakah dianggap sah ?
Orang yang menikah lewat
telpun dan internet tidak lepas dari dua keadaan :
Keadaan Pertama : Salah satu pihak yang melakukan akad serta dua orang saksi tidak
yakin dengan suara pihak kedua. Maka dalam hal ini, pernikahan lewat telpun dan
internet hukumnya tidak sah.
Inilah yang diputuskan
oleh Lajnah Daimah li al Ifta’ ketika
ditanya masalah tersebut, mereka memutuskan sebagai berikut :
“ Dengan pertimbangan bahwa
pada hari-hari ini banyak penipuan dan manipulasi, serta canggihnya orang untuk
meniru pembicaraan dan suara orang lain, bahkan diantara mereka ada yang bisa
meniru suara sekelompok laki-laki dan perempuan baik yang dewasa maupun yang
masih anak-anak, dia meniru suara dan bahasa mereka yang bermacam-macam
sehingga bisa menyakinkan orang yang mendengar bahwa yang bicara tersebut
adalah orang banyak, padahal sebenarnya hanya satu orang.
Begitu juga mempertimbangkan
bahwa Syariat Islam sangat menjaga kemaluan dan kehormatan, dan agar
berhati-hati dalam masalah tersebut lebih dari masalah lainnya seperti muamalah.
Oleh karenanya, Lajnah memandang bahwa seharusnya tidak menyandarkan secara
penuh akad pernikahan ijab dan qabul serta perwakilannya dengan menggunakan
alat telpun, agar tujuan Syariat bisa teralisir serta lebih menekankan kepada penjagaan terhadap
kemaluan dan kehormatan, sehingga tidak memberikan kesempatan kepada
orang-orang jahat untuk bermain-main dalam masalah ini dengan manipulasi dan
penipuan. Wabillahi at Taufiq. “
Keadaan
Kedua : kedua belah pihak yang melakukan akad
sangat mengenal suara antara satu dengan yang lain, begitu juga dua orang saksi
yakin bahwa itu suara dari pihak kedua yang melakukan akad. Pada kondisi
seperti ini, persaksian atas pernikahan tersebut dianggap sah, dan
pernikahannya sah juga. Khususnya dengan kemajuan teknologi sehingga seseorang
bisa bicara langsung dengan pihak kedua melalui gambar dan suara, sebagaimana yang
terdapat dalam teleconference.
Dalam
hal ini Syekh Bin Baz, mufti Negara Saudi ketika ditanya oleh seseorang yang
menikah lewat telpun dan mereka saling mengenal suara masing-masing pihak,
beliau menyatakan bahwa pernikahaannya sah.
Tetapi walaupun demikian tidak
dianjurkan bagi orang yang ingin menikah untuk menggunakan alat teknologi
seperti yang diterangkan di atas kecuali dalam keadaan terpaksa dan darurat,
hal itu untuk sifat kehati-hatian di dalam melakukan pernikahan karena berhubungan
dengan kehormatan seseorang. Wallahu A’lam.
Oleh : DR. Ahmad Zain An Najah, MA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar