Mengapa umat
Islam berpecah? Bukankah Islam agama yang haq? Bagaimana kita menyikapi
perpecahan ummat? Apa yang harus kita lakukan? Berikut ulasannya
“Beruntunglah orang-orang asing yang mereka
memperbaiki apa-apa yang telah dirusak oleh manusia sesudahku dari sunnahku.”
(HR At-Tirmidzi)
Iftiraqul
ummah adalah takdir Allah
Iftiraqul
ummah (perpecahan umat) adalah sebuah takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala yang
pasti terjadi. Sebagaimana telah disebutkan dalam beberapa hadits yang
mutawatir:
“Terpecah
umat Yahudi menjadi tujuh puluh satu golongan, dan terpecah umat Nashrani menjadi
tujuh puluh dua golongan, dan akan terpecah umat ini menjadi tujuh puluh tiga
golongan.” (1)
Bukti
kebenaran akan hadits ini, telah mulai tampak ketika munculnya pemahaman sesat
akidah Saba’iyah (akidah Khawarij dan Syi’ah). Inilah hal pertama yang didengar
kaum muslimin, dan didengar pula oleh para shahabat tentang akidah iftiraq dan
benih-benih firqah di kalangan muslimin yang ditiupkan oleh para pemeluknya.
Dan benih-benih iftiraq ini terus tumbuh dan berkembang hingga munculnya
firqah-firqah Qadariyah, Jahmiyyah, Mu’tazilah, dan lain sebagainya. Dan
sungguh, hal yang demikian ini terus menerus terjadi hingga masa sekarang. Hal
ini semakin tampak nyata dengan lahirnya harakah-harakah dengan membawa fikrah
masing-masing.
Mensikapi
iftiraqul ummah
Allah
Subhanahu wa Ta’ala yang telah mentakdirkan terjadinya iftiraqul ummah telah
memberikan bimbingan agar umat tidak tenggelam dalam fitnah ini. Rasulullah
shalallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
“ …
Barangsiapa di antara kalian berumur panjang, niscaya akan melihat perselisihan
yang banyak. Maka tetaplah kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah
khulafaur rasyidin yang mendapat petunjuk. …”(2)
1.
Maka sikap kita yang pertama
adalah tetap bepegangan pada sunnah Rasulullah saw dan para khulafaur rasyidin
yang mendapatkan petunjuk.
Maka dalam
memahami dien ini kita harus senantiasa meruju’ kepada apa yang telah
disampaikan oleh Rasulullah saw dengan pemahaman para shahabat radhiyallaahu
‘anhum ajma’in. Walaupun pemahaman itu berbeda dan ditentang oleh kebanyakan
manusia, maka tetaplah berpegangan kepadanya. Sungguh Rasulullah shalallaahu
‘alaihi wa sallam telah memberitakan bahwa Islam ini pada awal kedatangannya
adalah asing dan pada suatu saat nanti akan kembali dianggap asing (diriwayatkan
oleh Muslim dalam Shahih-nya: (145) dari Abu Hurairah), sebuah keadaan dimana
orang-orang yang berpegang teguh dengan sunnah seakan menggenggam bara api,
barangsiapa beramal pada hari-hari semacam ini maka pahalanya seperti pahala
amalan 50 orang shahabat radhiyallaahu ‘anhum ajma’in, sebagaimana telah
disebutkan dalam hadits-hadits yang masyhur:
“Akan suatu
pada manusia suatu jaman, orang yang sabar (istiqamah) di atas agamanya pada
jaman ini seperti memegang bara api.”(3)
“Sesungguhnya
di belakang kalian ada suatu hari, kesabaran di dalamnya seperti memegang bara
api, orang yang beramal pada hari-hari semacam ini pahalanya seperti 50 orang
yang beramal seperti amalnya kalian.”(4)
Berkata
Ath-Thibi tentang hadits ini: “Maknanya sebagaimana tidak mampunya seorang
pemegang bara api untuk sabar karena menghanguskan tangannya seperti itu pula
keadaan seorang yang beragama, pada hari itu, tidak mampu untuk tetap di atas
agamanya karena banyaknya pelaku maksiat dan pelaku maksiat, tersebarnya
kafasikan dan lemahnya iman.”
Berkata pula
Al Qari: “Yang jelas bahwa makna hadits adalah sebagaimana tidak mungkin bagi
seseorang untuk memegang bara api kecuali dengan kesabaran yang besar dan
menanggung banyak kesusahan. Demikian pula di jaman itu tidak akan tergambar
dalam benak seseorang untuk menjaga agamanya dan cahaya imannya kecuali dengan
kesabaran yang besar.”
Akan tetapi,
walaupun demikian keadaannya, Allah yang Maha Berkuasa atas segala-galanya
tidak akan membiarkan umat ini musnah dari muka bumi. Rasulullah shalallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
“Senantiasa
ada sekelompok dari umatku yang terang-terangan di atas kebenaran, tidak
mencelakakan mereka orang yang mencemoohnya sampai datang urusan Allah dan
mereka dalam keadaan demikian”(5)
2.
Hal kedua yang harus kita lakukan
ketika fitnah ini terjadi adalah tinggalkan semua golongan (firqah) yang ada,
sebagaimana diriwayatkan dari Hudzaifah:
“Bahwasanya
ketika manusia bertanya kepada Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam tentang
kebaikan, aku bertanya kepada beliau tentang kejelekan, karena khawatir akan
menimpa diriku, maka aku berkata, “Wahai Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa
sallam sesungguhnya kami dahulu dalam keadaan jahiliyah dan kejelekan, maka
Allah datangkan kepada kami kebaikan, maka apakah setelah kebaikan ini ada
kejelekan?” Beliau menjawab, “Ya”. Maka aku berkata, “Apakah setelah kejelekan
itu ada kebaikan?” Beliau menjawab, “Ya, tapi padanya ada dakhan (kotoran)”.
Aku berkata, “Apa dakhannya?”. Beliau menjawab, “Kaum yang mengerjakan sunnah
bukan dengan sunnahku, dan memberi petunjuk bukan dengan petunjukku, engkau
kenali mereka tapi engkau ingkari”. Maka aku berkata, “Apakah setelah kebaikan
tersebut akan muncul kejelekan lagi?” Beliau menjawab, “Ya, adanya dai-dai yang
berada di atas pintu jahannam, barangsiapa yang memenuhi panggilannya akan
dilemparkan ke neraka jahannam”. Aku berkata, “Wahai Rasulullah shalallaahu
‘alaihi wa sallam terangkan ciri-ciri mereka”. Beliau berkata, “Mereka adalah
suatu kaum yang kulitnya sama dengan kulit kita, bahasanya juga sama dengan
bahasa kita”. Aku berkata, “Apa yang engkau perintahkan jika aku mengalami
jaman seperti itu?” Beliau berkata, “Berpeganglah dengan jama/ah muslimin dan
imam mereka”. Aku bertanya, “Bagaimana jika tidak ada jama’ah dan imam?” Beliau
menjawab, “Tinggalkan semua firqah, meskipun kamu harus menggigit akar pohon
hingga kamu mati dan kamu dalam keadaan seperti itu .”(6)
3.
Hal ketiga adalah senantiasa
menyeru manusia kepada al haqq, saling bertawashaw bil haqq wa tawashaw bish-shabr
(saling menasihati dengan kebenaran dan saling menasihati dengan kesabaran).
Inilah kewajiban yang tetap ada pada diri kaum muslimin kepada sesama mereka
sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla: Dan saling
nasihat-menasihatilah engkau dengan kebenaran dan dengan kesabaran.’ (QS Al
‘Ashr: 4)
Dalam
mensikapi perbedaan pemahaman yang ada, maka kewajiban ini tetap wajib
diamalkan. Bukan seperti pendapat sebagian orang, “Kita bekerjasama terhadap
apa-apa yang kita sepakati dan kita saling tasamuh (toleransi) terhadap
perbedaan yang ada.” Perkataan ini benar jika perbedaan yang ada adalah hal-hal
yang memang merupakan ikhtilaf tanawu’ yang bisa ditolerir, sedangkan untuk
perkara yang telah menjadi ijma’ aimmah ahlus sunnah wal jama’ah dan kaum
muslimin, maka tidak ada lagi kata tasamuh. Mereka harus diberi peringatan,
ditegakkan hujjah kepada mereka (iqamatul hujjah) dan jika tetap tidak mau
mengikuti pemahaman yang lurus, maka mereka wajib diberi sangsi dan umat harus
ditahdzir akan kesesatan yang ada pada mereka serta bahayanya bergaul dengan
mereka. Sebagaimana Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallaahu ‘anhu telah memerangi
orang-orang yang enggan membayar zakat.
Sedangkan
jika perbedaan pemahaman yang ada seputar masalah fiqih atau pun hal-hal yang
lain sifatnya ijtihadiyah, maka wajib di antara muslimin untuk mempertemukan
perbedaan itu dan berusaha semaksimal mungkin untuk mencari yang lebih dekat
kepada al-haqq. Jika upaya ini tetap tidak bisa mempersatukan pemahaman yang
ada, maka hendaknya masing-masing memahami menurut keyakinan masing-masing tanpa
saling cela, saling caci, dan tetap saling menghormati. Sebagaimana yang telah
banyak dipraktekkan pada shahabat. Sebagai contoh: ketika dalam penyerangan
Bani Quraidhah. Sewaktu hendak berangkat Nabi shalallaahu’alaihi wa sallam
berpesan agar para shahabat tidak shalat kecuali setelah tiba di tujuan. Tapi
ternyata sebelum sampai di perkampungan Bani Quraidhah waktu shalat Ashar sudah
tiba. Maka sebagian shahabat mengerjakan shalat di tengah perjalanan, dengan
alasan Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menyuruh mengakhirkan shalat.
Yang lain memegangi ucapan Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam, yakni tidak
mengerjakan shalat hingga tiba di tujuan, walau sudah habis waktunya. Ketika
yang demikian sampai kepada Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam maka beliau
tidak mencela satu pun dari keduanya.(7)
Demikian
pula ketika Ibnu Mas’ud berbeda pendapat dengan Ubay bin Ka’ab tentang sahkah
shalat dengan memakai satu baju? Maka ketika mendengar perdebatan mereka Umaa
keluar dengan marah dan berkata: “Dua orang dari Rasulullah saw telah
berselisih, yaitu di antara orang-orang yang memperhatikan Rasul dan mengambil
dari Rasul. Ubay benar dan Ibnu Mas’ud tidak lalai. Akan tetapi aku tidak mau
mendengar ada orang yang berselisih tentang hal itu setelah ini, kecuali aku
mengerjakannya begini dan begitu.”(8)
4.
Hal keempat yang mesti kita
lakukan di tengah iftiraqul ummah ini adalah tetap berupaya untuk menjaga
persatuan di antara kaum muslimin. Walaupun iftiraqul ummah adalah sebuah
kepastian dan bagaimana pun usaha kita untuk mencegahnya maka iftiraqul ummah
ini tetap akan terjadi, akan tetapi hal ini tidaklah menafikan kewajiban kita
untuk tetap berpegang teguh kepada tali Allah dan menjaga persatuan di kalangan
umat Islam.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan: “Dan berpegang teguhlah kalian kepada tali
Allah seluruhnya, dan hangan berpecah belah.” (QS Ali Imran: 103)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata bahwa yang dimaksud dengan tali Allah adalah janji Allah. Dikatakan pula bahwa tali Allah ialah Al Qur’an. Sedangkan lafazh walaa tafarraquu (jangan berpecah belah) menunjukkan perintah untup berjama’ah dan melarang perpecahan.(9)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata bahwa yang dimaksud dengan tali Allah adalah janji Allah. Dikatakan pula bahwa tali Allah ialah Al Qur’an. Sedangkan lafazh walaa tafarraquu (jangan berpecah belah) menunjukkan perintah untup berjama’ah dan melarang perpecahan.(9)
Dan
perintah bersatu di sini bukanlah persatuan telompok (firqah) tertentu yang
kemudian saling membanggakan kelompoknya masing-masing. Dan menganggap yang di
luar kelompoknya berarti bukan saudaranya dan lantas disikapi dengan sikap
seperti orang kafir. Akan tetapi adalah kesatuan kaum muslimin yang
berlandaskan aqidah dan manhaj ahlus sunnah wal jama’ah. Wallaahu a’lam bish
shawab.
Penjelasan
tentang haditsul iftiraq
Terkait
masalah haditsul iftiraq, dimana umat ini akan terpecah menjadi tujuh puluh
tiga golongan yang mereka semua berada di dalam neraka, kecuali satu yang
selamat yakni Al Jama’ah. Maka jumhur ulama mengatakan, bahwa masuknya mereka
ke dalam neraka ini tidaklah kekal, akan tetapi hanya sementara. Jadi,
bid’ah-bid’ah yang ada pada diri mereka tidaklah menyebabkan mereka keluar dari
Islam, bid’ah itu tidak sampai menjatuhkan mereka dalam kekufuran (bid’ah
mukaffirah) akan tetapi hanya sampai pada tingkatan fusuq (bid’ah muharramah).
Maka mereka tetaplah muslimin, sehingga tetap ada kewajiban untuk berwala’
terhadap mereka dan ada pula kewajiban bara’ terhadap meruka sesuai dengan
tingkad penyimpangan yang ada pada mereka.
Panitia
Tetap Al Buhuts Al Ilmiyah Wal Ifta yang terdiri dari: Syaikh Abdul Azis bin
Abdullah bin Bbz, Syaikh Abdurrazaq Al Afify, Syaikh Abdullah bin Ghadyan, dan
Syaikh Abdullah bin Qu’ud memfatwakan mengenai harakah-harakah yang ada saat
ini, “… secara umum, setiap jama’ah mempunyai kesalahan dan kebenaran. Anda
boleh bergaul dengan jama’ah manapun selagi di sana ada kebenaran dan
menghindari jama’ah yang banyak kesalahannya. Tetapi tetap harus saling memberi
nasihat, saling tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa.”(10)
Maka para
ulama menasihatkan kepada para ahlul ‘ilm untuk turut bersama mereka dan
meluruskan mereka dari penyimpangan-penyimpangan yang ada. Sebagaimana
dikatakan oleh Syaikh Abdul Azis bin Abdullah bin Baz rahimahullaah, “…Jika manusia
memiliki ilmu dan pemahaman keluar bersama mereka untuk menyampaikan ilmu dan
pengingkaran dan nasihat kepada kebaikan serta mengajari mereka sampai mereka
itu meninggalkan madzhab bathilnya dan meyakini madzhab Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah maka diperbolehkan.”
Dan sungguh,
hanya Allahlah yang Maha Mengetahui siapajah di antara harakah-harakah yang ada
yang paling dekat kepada kebenaran. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Katakanlah:
‘Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi
perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan
dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS
Al Kahfi: 503-104)
Dan demi
Allah, tidak ada jaminan bagi siapa pun bahwa dialah yang berada pada
kebenaran. Kewajiban kita adalah berupaya semaksimal mungkin agar selalu berada
dalam shiraathal mustaqiim.
Sebuah
manhaj (metodologi) dalam memahani dien
Dalam meniti
jalan ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi bimbingan:
“… yaitu
mereka yang mendengarkan perkataan yang baik, dan mengikuti yang terbaik
diantaranya.” (QS Az Zumar:18)
Maka mencari
ilmu dari ahlul ilmi dari mana pun adalah sebuah kebaikan, karena hikmah itu
adalah milik muslim yang hilang, maka ambillah ia dari mana pun engkau
mendapatkannyu. Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam menasihatkan: “…
Terimalah kebenaran itu apamila engkau mendengarkannya, karena atas kebenaran
itu ada cahaya.” (11)
Tolok ukur
kita dalam menilai kebenaran, yang pertama adalah ada tidaknya dalil tentangnya
karena Rasulullah saw mengatakan: “Barang siapa melakukan suatu amal yang tidak
ada contohnya dari kami, maka amalan ibu tertolak.” (HR Mutafaqun ‘alaih)
Kemudian
yang kedua, sesuaikah dengan pemahaman para salafush-shalih yang Rasulullah
shalallaahu ‘alaihi wa sallam mengazakan tentang mereka: “Sebaik-baik generasi
adalah generasiku, kemudian generasi orang-orang sesudahnya, dan kemudian
orang-oyang yang sesudahnya.” (HR Arba’ah)
Allah
Tabaraka Wa Ta’ala pun mengatakan tentang pemahaman para shahabat radhiyallaahu
‘anhum ajma’in dengan firman-Nya: “Maka jika mereka beriman kepada apa yang
kalian telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan
jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan.” (QS Al
Baqarah: 137)
Seandainya
apa yang kita pahami sesuai dengan pemahaman mereka maka itulah al-haqq, maka
siapa pun yang berada di atas pemahaman ini maka merekalah yang disebut
al-firqatun najiyah, merekalah fs-sawaadul a’zham, dan itulah al-jama’ah,
sebagaimana dikatakan Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam: “Setiap yang
mengikuti sunnahku dan para shahabatku.” ; “Kalian wajib berpegana teguh dengan
sunnahku dan sunnah khulafaui rasyidin” (HR Abu Daud dan Tirmidzi). Ibnu Mas’ud
radhiyallaahu ‘anhu: “Al Jama’ah itu ialah setiap yang sesuai dengan al-haqq
walau engkau seorang diri.” Dalam riwayat yang lain dikatakan: “Al Jama’ah
adalah siapa saja yang sesuai dengan ketaatan kepada Allah walaupun engkau
sendirian.” Ibnu Khallal rahimahullaah mengatakan: “Al Jama’ah ialah Jama’atul
Muslimin, yaitu para shahabat serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan ihsan
sampai Hari Akhir. Mengikuti mereka adalah hidayah dan menyelisihi mereka
adalah sesat.”
Maka
barangsiapa yang mengatakan bahwa yang demikian (yakni mengambil ‘ilmu dari
beberapa harakah yang ada) maka dia seperti pemulung, sungguh, dia adalah orang
yang ‘sangat mengenal’ diennya sehingga dia berani menyamakan dien-nya sebagai
sampah dan betapa dia sangat memuliakan harakahnya, yakni dengan menyamakannya
dengan keranjang sampah yang para pemulung dapat mengambil sampah daripadanya.
Allahu Ta’ala A’lamu Bish-shawab.
Semoga Allah
senantiasa membimbing umat ini agar selalu bersatu di atas bendera sunnah, dan
berdiri di atas landasan aqidah ash-shahihah, serta menyeru mqnusia dengan
manhaj sunnah dan di atas jalan nubuwwah. Ushikum wa nafsi bitaqwallaah. Laa
haula walaa quwwata illaa billaah.
Foot note:
1. Hadits
ini masyhur, diriwayatkan oleh sejumlah banyak shahabat, dikeluarkan oleh
imam-imam yang adil, yang hafal hadits seperti Imam Ahmad, Abu Dawud,
at-Tirmidzi, Ibnu Majah, al-Hakim, Ibnu Hibban, Abu Ya’la al Muushili, Ibnu Abi
Ashim, Ibnu Bathah, al-Ajiri, ad-Darimi dan al-Lalikai. Juga dishahihkan oleh
sejumlah besar ahli ilmu, seperti At-Tirmidzi, Al-Hakim, Adz-Dzahabi,
As-Suyuti, dan Asy-Syatibi.
2. HR Nasa’I
dan Tirmidzi: HASAN SHAHIH. Lihat Kitab Firqah Najiyah oleh Syaikh Jamil Zainu.
3.
Dikeluarkan oleh At Tirmidzi: (2260) dan Ibnu Baththah dalam Al Ibanah Al
Kubra: (195) dari Anas radhiyallaahu ‘anhu..
4. Al
Baghawi dalam Syarhus Sunnah: (XIV/344) dan dalam tafsir: (III/110) dengan
lafazh yang panjang.
5.
Dikeluarkan oleh Muslim dengan lafazh ini: (1920) dan Abu Dawud: (4252) dengan
tambahan: “Tidak akan memadharatkan mereka orang-orang yang menyelisihinya.”,
dan tambahan yang panjang di awalnya. Dikeluarkan pula oleh At Tirmidzi: (2229)
secara ringkas dan dia fenshahihkannya, dan dikeluarkan oleh Ibnu Majah dalam
Al Muqaddimah: (10) dengan lafazx yang panjang dan dikeluarkan oleh Imam Ahmad:
(V/276) dengan lafazh yang panjang dan dalam (V/247) secara ringkas, dll.
6.
Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih-nya, 3606, Muslim dalam Shahih-nya
(1847), Imam Ahmad dengan panjang (V/386), 403 dan secara ringkas (V/391,396),
dengan ringkas dengan lafazh-lafazh yang berbeda-beda (V/494), Abu Dawud
As-Sijistani (3244), dengan lafazh berbeda (4246) dan An-Nasa’I dalam Al Kubra
(V/17,18).
7. Lihat: Al
Jami’ush Shahih Bukhari-Muslim.
8. Ibnu
‘Abdi ‘l-Bar di dalam Jami’u Bayani ‘l ‘Ilmi, 2/83-84
9. Lihat:
Tafsir Ibnu Katsir Juz 1.
10. Lihat:
Al jama’ah Menurut Ulama Salaf dan Khalaf oleh DR Abdur-Rahman bin Khalifah
Asy-Syayaji. Terdapat dalam kaset Ta’qieb Samahatul ‘Allamah Abdul ‘Aziz bin
Baz ‘ala Nadwah (ad-Du’at), lihat kitab An-Nashrul ‘Aaiz hal 173 oleh Syaikh
Rabi’ bin Hadi Al Madkhali hafizhahullaah.
11. Syaikh
Al-‘Allamah Ay-Mujaddid Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah menyatakan
tentang hadits ini: “Shahih, sanadnya mauquf (yakni ucapan Mu’adz).” Terdapat
dalam Shahih Abi Dawud, jilid 3, hal 872, hadits ke 3855.
“Ikhwah
fillaah, segala koreksi atas kesalahan penulisan dan penyimpangan pemahaman
yang ada mohon disampaikan kepada penulis. Jazaakumullaahu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar