Sebagai
muslim kita sangat dituntut untuk mengetahui dan memahami banyak persoalan dan
ilmu pengetahuan. Semakin banyak ajaran Islam yang kita pahami insya Allah
semakin banyak pula yang bisa kita amalkan, karena mengamalkan ajaran Islam itu
harus didahului dengan pemahaman yang utuh. Sementara semakin sedikit yang kita
pahami dari ajaran Islam, maka akan semakin sedikit pula yang bisa kita amalkan,
apalagi belum tentu semua yang kita pahami dari ajaran Islam secara otomatis
bisa kita amalkan dalam kehidupan ini.
Banyak
cara yg bisa kita lakukan untuk mengetahui dan memahami suatu persoalan
termasuk di dalamnya ajaran Islam. Salah satunya adalah dengan bertanya. Karena
itu, bertanya menjadi sesuatu yang amat penting. Bahkan pribahasa kita
menyebutkan “Malu bertanya sesat di jalan.”
Para
pembaca sekalian, dalam tulisan kali ini
kami mencoba memberikan penjabaran sekilas tentang hal-hal yang di larang dalam
mengajukan sebuah pertanyaan kepada siapapun juga. Tulisan ini kami rujuk
dari syarah hadits arba’in ke-sembilan. Berikut pemaparannya...
1.
Bertanya
terhadap hal-hal yang didiamkan oleh syari’at. Diamnya syari’at baik dari Allah
subhaanahu wa ta'ala maupun Rasul-Nya, bukanlah karena lupa, namun karena
rahmat kepada kita. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
“Dan Allah telah mendiamkan beberapa perkara karena rahmat kepada kalian, bukan
karena lupa, maka janganlah kalian membahasnya.” (HR. Ad Daaraquthni dan
selainnya).
Namun
bagaimana dengan keadaan kita saat sekarang ?. Misalnya, seseorang mengatakan,
“Tidak usah kita bertanya bagaimana hukumnya ini dan itu, seperti apa hukumnya
musik, sebab jika nanti dikatakan haram, maka sulit bagi kita meninggalkannya”.
Apakah hal ini juga termasuk dalam bertanya yang dilarang ?.
Imam
Nawawi dan Imam Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan bahwa “Larangan bertanya yang
seperti ini berlaku ketika wahyu masih turun. Karena wahyu belum sempurna, dan
tidak boleh bertanya karena hukum masih dapat berubah pada saat itu, yang
mungkin awalnya halal kemudian karena pertanyaan dapat saja berubah menjadi
haram. Namun ketika wahyu telah sempurna, maka wajib kita bertanya tentang
hukum-hukum apabila kita ingin mengerjakan sesuatu.”
2.
Bertanya
terhadap hal-hal yang tidak ada manfaatnya. Sebagaimana yang disebutkan dalam
hadits :
“Dari
Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu 'anhu
berkata : Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya tentang beberapa
hal yang beliau tidak menyukainya, ketika telah banyak ditanyakan beliau marah
kemudian berkata kepada manusia : “Bertanyalah kepadaku apa yang kalian
inginkan”. Maka berkata seorang laki-laki : “Siapa bapakku ?”. Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam menjawab : “Bapakmu Hudzafah”. Kemudian berdiri yang lain dan
berkata : “Siapa bapakku, ya Rasulullah ?”. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab :
“Bapakmu Saalim (maula Syaibah)”. Maka ketika ‘Umar melihat (perubahan) di
wajah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
karena marah, beliau berkata : “Ya
Rasulullah, sesungguhnya kami bertaubat kepada Allah”. (HR. Muslim)
Bahkan
dalam riwayat yang lain dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu disebutkan bahwa sampai-sampai ‘Umar
radhiyallahu 'anhu berlutut mendengarkan pertanyaan-pertanyaan mereka, kemudian
berkata, “Kami ridha dengan Allah menjadi Rabb kami, Islam menjadi agama kami,
dan Muhammad menjadi nabi kami, kemudian
beliau diam”.(HR. Bukhari dan Muslim)
Contoh
pertanyaan yang tidak bermanfaat lainnya adalah pertanyaan yang tidak
melahirkan amalan dan kalau kita jahil mengenai hal tersebut maka tidak
mengapa. Misalnya pertanyaan : “Berapa jumlah bintang di langit ?”, atau
“Nama-nama Ash-habul Kahfi atau nama anjingnya”, dan sebaginya. Hal-hal seperti
ini meskipun orang tahu semuanya, tidak akan menambah aqidah dan amalan kita,
dan memang kita tidak pernah diperintahkan untuk membahasnya. Dan pertanyaan
seperti ini adalah pertanyaan yang tidak bermanfaat dan membuang-buang waktu
saja.
3.
Pertanyaan
sekedar untuk istihza’ (mengejek) atau sekedar untuk menyulitkan saja, bahkan
hanya untuk berbantahan/berdebat. Pertanyaan seperti ini pun dilarang. Dan
ulama kita mencontohkan dalam masalah ini sama dengan pertanyaan orang Badui di
atas, karena mereka bertanya juga terkadang untuk istihza’ kepada Nabi,
sebagaimana disebutkan dalam hadits :
“Dari
Ibnu Abbas berkata :Adalah suatu kaum
bertanya kepada Rasulullah sholallohu ‘alaihi wa sallam untuk istihza’ (mengejek) kepada beliau, maka
berkata seorang laki-laki : “Siapa bapakku ?”, dan berkata seorang laki-laki
yang hilang untanya : “Dimana untaku?”. Maka Allah I menurunkan kepada mereka
firman-Nya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada
Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu (QS. 5
: 101)”. (HR. Bukhari).
4.
Pertanyaan
tentang masalah-masalah yang belum terjadi dan mustahil/sangat kecil
kemungkinan akan terjadi. Banyak diantara
para shahabat ketika ditanya tentang suatu masalah, mereka bertanya terlebih
dahulu apakah masalah tersebut telah terjadi atau belum, kalau belum, maka
mereka menyuruh untuk menunda pertanyaan tersebut sampai terjadinya.
Diriwayatkan
dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu 'anhu, beliau berkata : “Janganlah kalian bertanya
tentang sesuatu yang belum terjadi, karena sesungguhnya saya mendengar ‘Umar
radhiyallahu 'anhu melaknat penanya
(yang bertanya) tentang sesuatu yang belum terjadi” Demikian pula Zaid bin Tsabit ketika beliau ditanya tentang sesuatu, maka
beliau radhiyallahu 'anhu berkata : “Apakah ini sudah terjadi ?”, maka apabila
dikatakan : belum terjadi, maka beliau radhiyallahu 'anhu berkata :
“Tinggalkanlah sampai terjadinya” . Hal yang serupa diriwayatkan pula dari
sahabat yang lain seperti Ubay bin Ka’ab radhiyallahu 'anhu, ‘Ammar
radhiyallahu 'anhu dan yang lainnya.
5.
Pertanyaan akan
hal-hal yang mutasyaabih dan ghoib. Termasuk pertanyaan yang dilarang adalah
pertanyaan tentang kaifiyat hal-hal yang ghaib yang hanya Allah subhaanahu wa
ta'ala saja yang mengetahuinya. seperti pertanyaan tentang kaifiyat (tata cara)
bagaimana Allah subhaanahu wa ta'ala beristiwa’, maka itu semua dilarang.
Suatu
ketika datang seorang laki-laki kepada Imam Malik dan bertanya, “Bagaimana
Allah beristiwa’?”, maka beliau
menjawab, “(Makna) istiwa’ sudah jelas, pertanyaan tentang bagaimana (Allah
beristiwa’) itu tidak dikenal oleh orang-orang terdahulu, dan pertanyaan
tentangnya adalah bid’ah, dan saya tidak melihat kamu melainkan seorang ahli
bid’ah”. Maka Imam Malik menyuruh murid-muridnya mengeluarkan orang tersebut
dari majelis beliau.
Para
salafush shalih sangat menghindari pertanyaan-pertanyaan yang tidak bermanfaat.
Mereka sedikit bertanya dan kadang juga tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang disampaikan kepada mereka. Imam Malik ketika ditanya dengan sekian banyak
pertanyaan, namun hanya sedikit yang dijawabnya. Sebagian ulama mengatakan
bahwa itu disebabkan karena banyak pertanyaan yang dilontarkan kepadanya tidak
bermanfaat sehingga beliau memandang tidak perlu dijawab. Dan ketika ditanyakan
mengapa beliau tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, beliau mengatakan, Allah
Ta’ala sendiri berfirman :
“Dan mereka bertanya
kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan
tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (Al Isra’ : 85)
Artinya
kalau kamu tidak membutuhkan keterangan berkenaan masalah itu maka tidak usah
kamu tanyakan. Namun selama pertanyaan itu bermanfaat maka wajib bagi kita
menanyakannya dan hendaknya bagi yang mengetahuinya menjawabnya. Dan inilah
ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu yang melahirkan amalan. Karena itu seorang
muslim hendaknya mengkonsentrasikan diri menuntut ilmu yang bermanfaat, ilmu
yang melahirkan amalan, yang jelas-jelas datang dari Al Quran dan As Sunnah. (Rochmat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar