Suatu
ketika aku kedatangan seorang tamu. Wajahnya sudah tak asing lagi bagiku,
karena sebelumnya aku memang sudah mengenaknya dengan baik. Aku mengenalnya
sebagai pribadi yang sangat mulia. Kami telah menjadi sahabat sejak lama. Namun,
setelah masing-masing berkeluarga akhirnya kami jarang melakukan komunikasi.
Saat
pertama kali melihatnya, tergambar dalam raut wajahnya sebuah kebingungan yang
mendalam, seakan-akan ia sedang dengan memikul
seluruh kesusahan dunia yang sangat berat. Aku pun menyambutnya dengan
hangat dan kumuliakan ia layaknya tamu istimewa. Mungkin ia sengaja datang setelah
lama berpisah, untuk menumpahkan segala kegundahan-gulananya yang ada dalam
pikirannya kepadaku.
Ia
duduk dihadapanku sambil menghela nafas panjang. Kemudian meminta izin kepadaku
untuk menceritakan beban pikiran yang sedang ia alami.
Berikut
penuturannya :
“Saudaraku,
aku sering mendengar nasihat Para Alim tentang akibat buruk yang akan diterima
oleh para pelaku maksiat. Meraka telah mewanti-wanti sembari mengingatkan
tentang siksa neraka yang akan di dapat. Tapi, dahulu aku sering merasa bahwa
apa yang mereka ceritakan itu sama sekali tidak sesuai dengan kenyataan dan
terkesan dilebih-lebihkan.
Di
antara pelajaran dan nasehat yang mereka sampaikan ialah mengenai pengaruh
buruk menonton tayangan yang disiarkan melalui saluran Parabola. Aku
memang mendengar nasehat tersebut dari seorang kawan saat duduk-duduk di Masjid,
tapi nasehat itu tidak aku gubris sama sekali dan kuabaikan begitu saja. Berulang
kali teman-temanku tersebut memberikan artiket tentang kisah yang menimpa para
penikmat siaran parabola. Yang bagiku isinya sama sekali tidak
bisa dipastikan kebenarannya. Ketika membacanya, aku pun berpikir bahwa kisah-kisah
yang mereka tunjukkan hanyalah kisah rekaan belaka.
Di
dalam batinku aku bertanya, ‘kenapa mereka sibuk menceramahiku dengan
beragam kisah-kisah seperti itu. Dan kenapa juga mereka ikut campur dalam
urusan rumah tanggaku.’ Semua nasihat dan artikel itu sama sekali tidak
bisa menghalangiku untuk membeli perangkat parabola itu. Satu
keinginan yang sudah sejak lama aku pendam.
Obrolan
kawan-kawan rekan kerjaku mengenai pertandingan sepak bola yang sedang marak,
semakin menumbuhkan keinginanku untuk menyaksikannya secara langsung lewat parabola.
Demikian juga dengan keinginan untuk menyaksikan acara-acara yang lain sebagai
penambah pengetahuanku. Sehingga itu semua semakin membulatkan tekadku untuk
membelinya.
Pada
akhirnya ‘tamu’ itu pun hadir di tengah-tengah keluarga kami. Antenanya
pun terpasang menjulang di atas atap. Mengetahui hal itu, para tetangga kembali
menesehatiku, bahkan meraka memperingatkanku agar takut kepada Allah dan
mengingat akan akibat buruk yang akan menimpa. Namun aku tetap tak bergeming,
sementara setan terus berbisik dan membela keputusan yang telah au ambil ini. Ah,
seandainya aku tidak melakukannya saat itu..!!
Kemenangan
semu yang aku peroleh atas para tetanggaku membuat anak dan istriku terlihat
senang, aku merasa bahwa mereka pantas mendapat hadiah atas dukungan yang
mereka berikan kepadaku.
Ketamakan
dan kegandrunganku terhadap acara olahraga pun semakin besar. Karena memang
acara itu termasuk yang diminati oleh kebanyakan orang, kecuali bagi orang yang
mendapatkan kasih sayang Allah. Satu hal yang membuatku semakin percaya diri,
bahwa aku bisa menjawab berbagai pertanyaan yang dilayangkan oleh
rekan-rekan kerjaku dari apa yang aku
saksikan lewat acara-acara yang disiarkan melalui parabola.
Seiring
barjalannya waktu, aku mulai meresa ada yang kurang apabila tidak menyaksikan
acara-acara itu, dan baru terpenuhi setelah menyaksikannya. Tapi tak bisa
kubantah bahwa sejak hari pertama kedatangan parabola di rumahku,
langkah-langkahku untuk mendatangi Masjid guna melaksanakan shalat berjamaah dan
kebiasaan membaca Al Qur’an menjadi semakin berat. Kemalasan menghinggapiku dan
yang ada hanyalah keinginan untuk terus setia berada di depan telavisi.
Perlahan
aku mulai meninggalkan Masjid dan para jamaahnya, menuntut ilmu, dan belajar Al
Qur’an. Memang ada perasaan gundah dan gelisah, namun rasa malas memaksaku untuk
terus berada dekat dengan televisi.
Hari
dan bulan berlalu, sementara aku dan keluarga semakin tidak bisa berpisah
dengan perangkat terkutuk itu, kecuali hanya pada waktu kerja. Pada malam hari,
aku sering tidur mendahului anak-anak karena kelelahan dan mereka terus
menyaksikan acara-acara itu hingga larut malam.
Tuntutan
hidup membuatku haru bekerja hingga larut malam dan memiliki waktu yang
sebentar untuk beristirahat, sehingga akhirnya jarang lagi menyaksikan acara
televisi. Aku sering pulang larut malam bahkan hingga menjelang subuh,
rutinitas seperti itu berjalan cukup lama dan berimbas pada kurangnya perhatianku
terhadap kondisi keluargaku.
Hingga
pada suatu malam yang kelabu, seperti biasa aku pulang larut malam. Sesampainya
di rumah, aku langsung menuju kamar kerjaku dan merebahkan tubuhku di atas kasur,
tanpa seorang pun menyadari kehadiranku. Tiba-tiba aku terperanjat, karena
mendengar suara desahan dan rintihan yang tidak teratur dari dalam rumah. Aku
mencoba mendengarkannya dengan seksama suara itu, tapi semakin lama semakin
tidak jelas iramanya. Aku pun semakin penasaran, seumur- umur baru saat itu aku
merasa curiga dan ragu. Akupun mulai menyelidiki dan mencari tahu dari mana
suara desahan itu berasal.
Kuayunkan
langkah menuju kamar istriku dan perlahan kubuka pintunya. Aku merasa lega
karena istriku sedang tertidur pulas. Semua keraguan dan pikiran seten yang
meresuki pikiranku bahwa istriku sedang berselingkuh pun seketika hilang.
Kupanjatkan puji dan syukur kepada Allah Ta’ala. Aku lantas kembali ke kamar
kerjaku. Namun sesampainya di kamar kerja, suara itu masih terdengar.
Sekali
lagi aku bangkit dari kasur. Aku berpikir mungkin anak-anak kecapean dan
ketiduran, sehingga lupa mematikan televisi. Aku kemudian berjalan dengan pelan
untuk mengetahui asal suara itu.
Akhirnya
ketika aku sampai di depan sebuah kamar. Setelah berdiri sejenak, aku begitu
yakin bahwa suara-suara desahan itu berasal dari dalam. Dengan perlahan kuraih
gagang pintu dan kucoba membukanya, namun ternyata pintu itu terkunci rapat.
Kecurigaanku kembali muncul dan hatiku kembali was-was. Karena waktu sudah
begitu larut malam dan sebentar lagi mungkin akan terdengar adzan subuh.
Akhirnya kuputuskan untuk kembali ke kamar saja dan menanyakan masalah tersebut
pada anak-anak esok hari.
Namun
sebelum sampai di kamar, aku teringat bahwa kamar itu mempunyai pintu lain yang
terletak di samping. Segera saja aku manuju ke pintu itu. Sesampainya di sana,
kuraih gagang pintu dan kubuka kemudian masuk ke dalam tanpa mendapatkan kesulitan.
Dalam
keremangan, mulailah kulihat dan kucermati pemandangan yang ada di hadapanku.
Ya Allah…, pemandangan apa ini!! kupukul-pukul kepalaku untuk menyadarkanku,
kalau-kalau aku sedang bermimpi. Tapi tidak, itu bukan mimpi!! Aku sedang
menyaksikan musibah besar dan aib yang menjijikkan! Benar-benar musibah dan
prahara. Sebuah akhir yang begitu pahit.”
Sambil
menahan isak tangis ia kemudian melanjutkan ceritanya,
“Sahabat,
aku menyaksikan anak laki-lakiku sedang menyetubuhi kakak perempuannya. Ia
telah merenggut keperawanan dan kehormatan saudaranya sendiri. Aku tak lagi
kuasa menahan kebingungan dari apa yang kulihat, sehingga akupun berteriak
sekeras-kerasnya dan jatuh pinsan.
Mendengar
suara gaduh itu, istriku pun terbangun. Ia juga ingin mengetahui apa sebenarnya
yang terjadi. Akhirnya ia pun melihat kejadian yang di luar perkiraannya,
sebuah kenyataan yang memperlihatkan atas kelakuan anak laki-lakinya yang
sedang merusak kehormatan saudara perempuannya sendiri.
Hanya
seribu penyesalan yang terucap untuk parangkat laknat itu. Perangkat yang telah
mengoyakkan kehormatan keluarga kami dan menimpakan aib yang begitu besar.
Perangkat yang dengan seiring berjalannya waktu, telah menghancurkan kesucian
dan nama baik keluargaku, untuk diganti dengan aib yang memilukan.
Seorang
gadis berusia 20 tahun sedang menanti kelahiran anaknya, karena telah dihamili
oleh saudaranya sendiri yang biadab. Kebahagiaan di tengah keluarga yang
dinanti-nanti dengan impian-impian yang indah di masa depan telah sirna karena
kehadiran perangkat bangsat itu.
Disela-sela
itu, aku kembali teringat dengan kegigihan orang-orang di sekitarku yang tiada henti-hentinya
menasehati dan memperingatkanku untuk tidak memasang perangkat parabola itu.
Namun saat ini, aku tak mampu lagi menahan perihnya penderitaan yang kuhadapi
hingga titik nadir ini. Aku telah jatuh ke dalam bencana yang tidak ada jalan
keluarnya.
Pada
akhirnya, perangkat itu memang aku singkirkan dari rumahku, tetapi setelah
aroma busuk atas aib itu memenuhi setiap sudut dari rumah kami.
Seribu
penyesalan untuk kehormatan keluarga yang telah hilang. Seribu penyesalan untuk
nilai-nilai agama yang telah kulupakan. Dan seribu penyesalan untuk nasihat
yang pernah disampaikan kepadaku, namun tak ku gubris sama sekali.
-=o0o=-
Inilah
kisahku dan hari ini ku ceritakan. Sungguh sejatinya kata-kata yang keluar dari
mulutku untuk mengungkapkannya terasa berat daripada mengangkatbaja,
kejadiannya lebih menyakitkan dibanding sabetan cemeti di tubuh, dan aibnya
melekat kuat pada kehormatan diri dan keluargaku. Tapi, aku rela menceritakan
semuanya dengan harapan ada orang yang mau mendengarkannya, dan bisa mejadi
pelajaran bagi orang-orang yang lalai. Jika tidak kuceritakan, aku takut akan
semakin banyak orang yang mengalami nasib yang sama dengan yang kualami.
Mungkin
masih banyak orang yang memiliki cerita serupa dengan yang kualami, tapi
mungkin mereka enggan untuk menceritakannya atau mungkin mereka tak punya
kekuatan hati untuk membukanya.
Saat
inii aku hanya bisa pasrah kepada Allah Ta’ala. semoga dengan menceritakan
kejadian ini aku bisa terbebas dari tanggungjawab yang kelak akan ditanyakan
Allah kepadaku, juga terbebas dari alasan orang-orang disekitarku. Wassalam….
efek negatif dari teknologi.,,
BalasHapuspencemaran otak keluarga kita dari tayangan televisi
betul tu.. makanya harus pinter2 manfaatinya, n jangan mau dimanfaatkan
Hapus